Jumat, 18 Oktober 2013

Kemenangan Penuh Makna



Ada sesuatu yang berbeda pada sholat isya berjamaah malam ahad kemarin. Selain karena berjamaah bersama keluarga setelah sekian lama tak pulang, ada satu do’a yang kami selipkan setelahnya. Do’a untuk timnas u 19 yang akan bertanding melawan Korea Selatan di ajang kualifikasi pra piala Asia u 19. Salah satu pertandingan yang banyak ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia diharuskan berhadapan dengan juara bertahan 12 kali di ajang Piala Asia u 19 itu. Ini bukan pertandingan sepak bola pertama kalinya yang saya tonton. Tapi pertandingan ini membuat saya excited karena ada beberapa hal yang manarik dalam timnas u 19 ini. Permainan timnas u 19 yang menurut para pengamat sepak bola membawa optimisme dunia persepakbolaan Indonesia setelah menang di Piala AFF. Hal yang paling menarik untuk saya adalah gaya selebrasi mereka ketika gol tercipta. Ya, bersujud syukur di lapangan.
Ada satu hal yang membuat saya bertahan menonton sepak bola, yaitu permainan yang menarik. Permainan saling serang dengan tempo cepat. Itu sebabnya, tidak semua pertandingan sepak bola bisa saya tonton hingga selesai. Jika permainannya begitu membosankan, saya akan dengan segera meninggalkannya. *Hhe.. Ayahlah yang memperkenalkan saya dalam menonton sepak bola. Meski bukan penggila bola, tapi ketika ada pertandingan sepak bola yang menarik untuk ditonton dan masih di jam yang bersahabat dengan mata, beliau pasti menontonnya. Jadi ingat ketika pertama kali ayah menjelaskan peraturan-peraturan dalam pertandingan sepak bola. Dengan sabar beliau menjawab setiap pertanyaan saya yang penasaran kenapa itu disebut pelanggaran, kenapa jadi tendangan finalti dan lain-lain. Dari jawaban-jawabannya itu lah saya bisa lebih mengerti peraturannya.
Kembali ke pertandingan timnas u 19. Awalnya saya kurang begitu yakin timnas u 19 akan menang melawan Korsel. Bukan karena tidak membela negara sendiri. Hanya saja jika dilihat dari catatan gelar Korsel sebagai juara bertahan 12 kali, rasanya bermain dengan skor imbang saja sudah luar biasa bagus untuk timnas u 19. Pertandingan pun dimulai. Kami menyaksikannya ditemani snack yang terus saya dan adik saya cemili. Kedua tim menyuguhkan permainan -yang saya sebut- menarik. Hujan turun dengan deras di stadion utama GBK. Pertandingan pun di tunda beberapa menit untuk mengurangi genangan air di lapangan.
Teriakan kami pun pecah ketika gol dari timnas u 19 dilesatkan dengan begitu keras oleh sang kapten Evan Dimas. Ya, inilah yang saya tunggu-tunggu. Menyaksikan sujud tanda syukur yang menjadi selebrasi khas mereka. Tak lama berselang, korsel menyamakan skor atas ganjaran tendangan finalti yang gagal di atasi penjaga gawang timnas u 19. Terbesit dalam hati, biasanya setelah timlawan menyamakan skor mental timnas akan menurun yang membuat permainannya tak lagi fokus. Tapi dugaan itu meleset. Mereka tetap bermain dengan berani menyerang dan menciptakan beberapa peluang yang membuat ayah memukul lantai. Setelah beberapa peluang emas yang tidak tereksekusi dengan baik. Akhirnya sang kapten kembali membuat timnas u 19 unggul menang dengan skor 3-2.
Setelah menyaksikan kemenangan timnas u 19, muncul pertanyaan dalam benak saya. Apa yang menjadikan timnas u 19 ini bisa menang dan bermain dengan baik. Mereka mengekspresikan rasa syukurnya dengan bersujud syukur di lapangan –sesuatu yang jarang dilakukan-. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah lupa akan Allah, Tuhan semesta alam yang dengan ijinNya lah gol itu bisa tercipta. Suatu pesan yang begitu mendalam. Mengingatkan kita akan kuasaNya yang sering terlupakan. Banyak orang yang selalu fokus dengan usaha dirinya sendiri, sehingga merasa sombong berhasil atas usahanya sendiri melupakan bahwa ada kuasaNya dalam keberhasilan yang dicapai itu. Rasa syukur yang timnas u 19 tunjukkan itu yang membuat kemenangan mereka terasa bermakna, bukan kemenangan hampa dengan selebrasi rasa angkuh. Benarlah firman Allah yang menyebutkan bahwa akan Allah tambahkan nikmat bagi hambanya yang bersyukur.
Dalam wawancara di stasiun televisi, sang pelatih menyebutkan bahwa dalm timnya ada pelatih yang khusus menangani mental para pemain. Beberapa hal yang diungkapkan sang pelatih dalam sebuah wawancara: “… Saya ingin mereka juga bisa menjadi panutan dimanapun mereka berada… Ya, mereka yang muslim kami adakan pengajian untuk melatih mental mereka…”. Wajar rasanya jika mental pantang menyerah itu terbangun dengan baik dalam skuad timnas u 19. Selain beberapa hal di atas, ada satu fakta yang membuat saya mengangguk-anggukan kepala dan berbisik dalam hati, wajar saja kalau kemenangan mereka rengkuh. Fakta itu adalah ketika dalam suatu Koran online terungkap bahwa salah satu pemain timnas u 19 selalu berwudhu sebelum bermain. Sosok pemuda yang selalu ingat akan Tuhannya. Itulah yang kini mulai hilang dari generasi muda Indonesia. Bukan hanya di dunia sepak bola. Jika pada generasi muda ditanamkan ajaran agama yang kuat, maka akan terukir jutaan prestasi. Prestasi sarat akan makna. Bukan prestasi kerontang dengan keangkuhan diri merasa paling hebat, seolah Allah tak ada.
Kemenangan yang terjadi tanpa mengingatNya -baik itu dalam proses mencapainya atau ketika kita dapat mencapainya- tidak akan bercerita banyak makna. Terasa kering, menghilang begitu saja tanpa meninggalkan kebermanfaatan. Itulah sebabnya kenapa kita sebagai muslim selalu diperintahkan untuk menyertai usaha (ikhtiar) kita dengan berdo’a. Memohon kepada yang Maha berkuasa atas segalanya, karena dengan itulah keberkahan akan didapat. Sesuatu yang membedakan kemenangan seorang muslim yang takwa.
Semoga bermanfaat..
      
Bandung 18102013 20.00 PM

Kamis, 05 September 2013

Catatan 05092013



Tiga tahun sudah saya harus hidup terpisah dengan keluarga. Amanah menuntut ilmu yang mengharuskan diri ini melewatkan begitu banyak momen bersama keluarga. Tapi itu bukanlah suatu hal yang harus disesali. Kepergian untuk menuntut ilmuNya yang begitu direstui keluarga serta lingkungan baru yang begitu nyaman. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. Hanya syukur yang begitu dalam yang saya rasakan atas semua nikmat itu.
Tiga tahun bukanlah waktu yang sedikit. Tapi tiga tahun itu tak membuat rasa rindu berkurang sedikitpun. Suaranya terdengar begitu lembut, seperti biasanya menyapa dengan penuh kasih sayang. Walau hanya mendengar suaranya, tapi mencurahkan segala isi hati padanya selalu membuat saya tenang. Berbicara dari hati ke hati, diselingi canda tawa dan diskusi cukup berhasil mengobati kerinduan yang sama sekali tak pernah berubah.
Ikatan itu memang telah Dia titipkan untuk selalu mengikat kami, ayah, ibu dan 2 saudari saya. Ibu, kerinduan yang dirasakan ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kerinduanmu pada putrimu ini. Teringat dengan jelas tiga tahun silam, suaramu di telpon  terdengar begitu rapuh bahkan kau tak sanggup menahan tangis hingga kita berdua beradu tangisan di telpon. Seiring bertambah tegar dan kuatnya diri ini, maka ketegaran dan kekuatan itu pula lah yang kau tunjukkan. Walau begitu, ketegaranmu itu masih memancarkan kerinduan yang sama. Tak berkurang sedikitpun.  Setiap kali saya berangkat dari rumah, pelukan hangatmu masih sama. Pelukan yang begitu berat membiarkan pergi.
Ayah, walau tak banyak kata yang kau ungkapkan, tak ada tangisan yang kau tunjukkan, saya tahu kerinduanmu pun sama dalamnya dan tak pernah berubah. Ya, pendampingmu yang luar biasa itu menjadi jembatan yang menyampaikan perasaan dan ekspresimu untuk putrimu ini. Tiga tahun silam, ibu bercerita tentang tangismu dan khawatirmu untuk putrimu ini.  Menjemput ke terminal ketika pulang dan mengantar sampai terminal ketika pergi. Itu semua rutin kau lakukan untuk putrimu ini. Masih pendampingmu yang setia itu yang bercerita. Ketika kau selalu memandangi bis yang mengantar pergi sampai bis itu hilang dari pandanganmu disertai rasa berat melepas kepergian.   
Bagaimana bisa rasa rindu ini berkurang jika kalian (ibu dan ayah) selalu menghujani diri ini dengan kasih sayang ikhlas. Bahkan beribu tahun pun, rasa rindu ini tak akan pernah berkurang untukmu. Teringat ketika ibu bercerita mengenai ‘hal itu’. Suatu hal yang membuat saya bingung harus berekspresi seperti apa ketika kalian menyinggungnya. Menyinggungnya lewat candaan atau nasihat yang serius. Bukan karena saya tidak memikirkan ‘hal itu’. Ketika menghadiri pernikahan saudara sepupu yang tak bisa saya hadiri, kalian bercerita tentang tangis haru yang terjadi. Tangis haru kalian yang terjadi ketika ijab qabul itu. Ibu, kau sampaikan tangis itu karena kalian teringat pada putrimu ini yang tentu saja akan mengalami hal yang sama.
Ah, ibu, ayah, baru membayangkannya saja kalian sudah meneteskan airmata. Bagaimana ketika sampai pada waktunya nanti. Ibu, ayah, kalian selalu menjaga putrimu ini. Tanpa mengikuti kontes putri yang ada pun, saya telah menjadi seorang putri yang begitu berharga untuk kalian. Menyasikan begitu berharganya diri ini untuk kalian, rasanya kekuatan untuk menjaga izzah dan iffah semakin bertambah. Semoga Dia yang maha memiliki diri ini, selalu memberi bimbingan dan petunjuk.  Aamiin
Bandung, 23.00 pm

Kamis, 16 Mei 2013

Kami Adalah Bagian Umatmu di Akhir Zaman



Mendengar lantunan nasyid Bimbo,  mengantarkanku pada sebuah kerinduan yang semakin terasa. Rindu kami padamu ya Rasul. Betapa indah rasanya, membayangkan ada di masa itu merasakan tarbiyah langsung darimu. Engkau sampaikan ajaranNya dengan penuh cinta. Engkau memang manusia pilihanNya. Manusia pilihanNya, karena engkau telah disiapkan sebagai Nabi penutup. Betapa beratnya amanah itu ya Rasulullah. Di tengah masyarakat yang begitu jauh dari cahayaNya, kau diamanahi untuk menerangi mereka dengan kebenaran.
Penolakan, hinaan, fitnah bahkan ancaman kau hadapi dengan penuh cinta. Ketika Jibril menawarkan untuk membalas mereka yang telah mendzolimimu, dengan lembut kau menolaknya. Perjuanganmu dengan pertolonganNya telah membuktikan betapa Islam itu rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Da’wahmu begitu indah. Kau sentuh setiap hati yang gelap dengan penuh cinta. Hingga hari itu tiba, engkau dipanggil olehNya. Menangislah seluruh umatmu saat itu, bukan karena tidak ikhlas dengan takdirNya. Tapi, hati mana yang tak teriris, merasa kehilangan ketika Rasulullah yang begitu mencintai dan dicintai mereka telah tiada.
Sepeninggal mu, estafet da’wah Islam ini tak terhenti begitu saja. Engkau telah siapkan umatmu sebagai penerusnya. Para sahabat melanjutkannya. Engkau memang guru yang luar biasa ya Rasulullah. Para sahabat yang langsung kau didik membawa Islam menyebar hingga 2/3 bumi ini. Lagi-lagi kami membayangkan ada pada masa itu. Masa ketika Islam berjaya menaungi umat manusia. Peradaban yang begitu tinggi. Ya, Islam itu memang indah. Dalam naungannya, manusia menjadi sosok yang kuat ruhiyahnya, akalnya dan fisiknya sehingga bisa menjalankan amanah untuk beribadah kepadaNya dan sebagai khalifah (mengelola bumi ini).  
Ya Rasulullah, kami adalah bagian umatmu di akhir zaman. Kami belum pernah bertemu denganmu, tapi cintamu begitu terasa untuk kami. Bagaimana tidak, diakhir hayatmu engkau sebut kami (umatmu) dengan penuh kasih sayang.
Ya Rasulullah, kami adalah bagian umatmu di akhir zaman. Kami penerus da’wah ini. menyampaikan kebenaran dengan kebaikan. Menyampaikan Islam dengan penuh cinta seperti yang engkau contohkan.
Ya Rasulullah, kami adalah bagian umatmu di akhir zaman. Kini, godaan itu semakin hebat. Kami dijauhkan dari pedoman kehidupan ini, yaitu Al qur’an dan sunahmu. Namun, sehebat apapun godaan itu, lebih hebat kekuatanNya. Benarlah bahwa cahaya Islam itu tidak akan pernah hilang. Walau kini bukan mayoritas, tapi masih ada umatmu yang berpegang teguh pada pedoman kehidupan ini.  
Ya Rasulullah, kami adalah bagian umatmu di akhir zaman. Kini, fitnah itu semakin kuat. Begitu kuatnya sehingga seringkali putih menjadi hitam dan hitam menjadi putih. Ya, benarlah bahwa antara yang haq dan bathil akan selalu berperang. Bukan hanya yang haq yang memiliki barisan pejuang, kebathilan pun memiliki pejuang setia. Terkadang kami merasa begitu berat dengan amanah da’wah ini. Namun, dibanding perjuangnmu, rasanya perjuangan kami belumlah seberapa. Kami tidak dilempari batu, pun tidak ditumpahi isi perut unta ketika sholat.
Ya rasulullah, terkadang  kami merasa jalan ini terlalu sulit untuk dilewati. Tapi pantaskah kami menyerah sedangkan saudara-saudara kami di sana ditembaki, dibom dan digempur setiap harinya.  Sungguh, perjuangan ini belumlah seberapa. Ya, tak ada kata berhenti dalam da’wah. Baik dengan kami atau tanpa kami, da’wah akan selalu berjalan. Sebagaimana Dia akan selalu menjaga cahaya Islam hingga kiamat nanti.
Ya Rasulullah, kami bagian umatmu di akhir zaman. Terkadang tangis kami tak tertahan lagi. Bukan jalan mulus tanpa rintangan yang dijanjikan di jalan ini. Bukan pula kesenangan dan keindahkan fana yang dijanjikan di jalan ini. Tapi kebahagiaan sejati dan keindahan abadi yang akan diantarkan oleh jalan ini. Sepahit apapun rintangannya, kami tak akan berhenti. Karena da’wah ini adalah tugas kami sebagai umatmu. Karena da’wah ini adalah kebutuhan kami. Karena Dia selalu membersamai kami, ketika kami berjuang hanya karenaNya dan untukNya. Dan karena da’wah ini tidak akan terhenti, sungguh tidak akan pernah terhenti. Estafetnya akan terus berjalan melalui anak-anak kami, cucu-cucu kami dan seterusnya hingga cahayaNya selalu hadir menerangi dunia ini.

Chy-Pratiwi
150513