Minggu, 30 Agustus 2015

Catatan Guru 1


Masih jelas dalam ingatan, di masa kecil saya bermain peran dengan teman-teman sebaya saya sebagai guru dan murid. Menjadi seorang guru adalah peran yang sering saya pilih di kala itu. Padahal ketika itu tidak terlintas cita-cita saya ingin menjadi seorang guru. Hanya saja saya senang memerankannya, pura-pura mengajarkan teman sebagai murid, membuat soal ulangan dan tentunya berpura-pura menilai ulangan.
Kini, jika mengingat momen itu saya sering tersenyum sendiri. Bagaimana tidak, ternyata takdir mengantarkan saya untuk benar-benar menjadi seorang guru. Tidak pernah terbayang sebelumnya. Seperti yang pernah saya tulis pada tulisan saya sebelumnya, menjadi seorang guru bukanlah cita-cita utama saya. Awalnya saya bercita-cita untuk menjadi seorang dokter atau ahli kesehatan. Ternyata takdir berkata lain, saya masuk jurusan pendidikan matematika UPI dan tentunya disiapkan untuk menjadi seorang guru matematika. Allah memang maha mengetahui diri saya, karena seiring berjalannya waktu ternyata saya mencintai bidang ini. Saya yang gampang linu melihat luka memang kurang tepat untuk menjadi dokter.
Tahun ini adalah untuk pertama kalinya saya menjadi guru di sekolah sebagai suatu profesi atau pekerjaan. Berat memang, tanggungjawab sebagai seorang guru tak dapat dipandang remeh begitupun dengan profesi lainnya. Saya ditempatkan untuk mengajar empat kelas XII dan satu kelas XI. Muncullah beberapa pertanyaan dalam benak, “bisakah saya mengajar kelas XII?”. Dalam pikiran saya, untuk mengajar kelas XII haruslah guru senior yang pengalamannya pun sudah banyak. Keraguan yang muncul pun saya jawab dengan berhusnudzon. Dia mempercayakan amanah ini untuk saya karena saya mampu menjalankannya.
Sekolah tempat saya mengajar adalah Islamic Boarding School , dengan kelas putra dan putrid dipisah. Ketika awal mengetahui bahwa kelasnya dipisah, hal yang mengganjal dalam pikiran saya adalah bagaimana jika saya kebagian mengajar di kelas putra. “Sudah kelas XII, putra pula? Di kelas itu saya perempuan sendiri di tengah 32 putra. Alhasil pikiran-pikiran negatif itu pun mulai menghantui. “bagaimana jika anak putra itu jahilnya luar biasa? Kata orang, anak Islamic biarding school itu kalau yang sholeh sholeeeh banget ya kalau yang nakal nakaalnya juga banget”. Lagi, takdir mengantarkan saya pada hal-hal yang saya takuti. Dari lima kelas yang saya ajar, 3 kelas diantaranya adalah kelas putra.
Saya berusaha kembali menjawab ketakutan ini dengan berhusnudzon. Allah mengetahui kelemahan saya, dan saya diuji untuk dapat melewatinya dengan kemampuan/ potensi saya yang saya sendiri masih meragukannya akan tetapi Allah maha mengetahui bahwa saya memiliki potensi itu. Hari yang ditunggu dan mendebarkan pun tiba. Hari pertama mengajar dan hari pertama itu jatuh pada kelas XII IPA 1 yang merupakan kelas putra. Dag dig dug pasti, bahkan seperti mau sidang skripsi saja rasanya. Saya melangkah memasuki kelas kemudian mengucapkan salam. Saya tatap semua mata yang juga menatap saya dengan rasa penasaran. Bahkan sebelumsaya mulai perkenal, beberapa orang sudah memulainya dengan pertanyaan. “ibu guru baru ya? Ngajar apa bu?”.  Saya potong pertanyaan mereka dengan memerintahkan ketua kelas untuk berdo’a terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran. Selesai berdo’a, maka pembelajran pun saya mulai dengan berkenalan terlebih dahulu.
Saya memperkenalkan diri seperti biasa, nama, asal daerah, riwayat pendidikan dan tentunya sebagai guru apa. Kemudian saya menyatakan cukup untuk perkenalan diri saya, dan sekarang giliran murid yang memperkenalkan diri. Tiba-tiba beberapa orang mengangkat tangan dan menyampaikan pendapatnya bahwa perkenalan dirasa belum cukup dan masih ada pertanyaan dari mereka. Hmm, dengan sedikit berat hati saya persilakan beberapa orang untuk menyampaikan pertanyaan. Tentunya sudah saya duga, pertanyaan yang sama dan selalu muncul di empat kelas lainnya “ibu usianya berapa tahun? Sudah menikah atau belum?” sebenarnya itu adalah pertanyaan standar yang bisa saja saya beritahu ketika awal memperkenalkan diri, akan tetapi saya tidak mau terlebih dahulu menyampaikan itu di awal perkenalan. Oia, ada satu pertanyaan yang paling lucu diantara yang lainnya : “ibu sudah punya calon suami? Target nikah ibu kapan?” Pertanyaan yang saya jawab dengan sedikit diplomatis,. *haha