Masih
jelas dalam ingatan, di masa kecil saya bermain peran dengan teman-teman sebaya
saya sebagai guru dan murid. Menjadi seorang guru adalah peran yang sering saya
pilih di kala itu. Padahal ketika itu tidak terlintas cita-cita saya ingin menjadi
seorang guru. Hanya saja saya senang memerankannya, pura-pura mengajarkan teman
sebagai murid, membuat soal ulangan dan tentunya berpura-pura menilai ulangan.
Kini,
jika mengingat momen itu saya sering tersenyum sendiri. Bagaimana tidak,
ternyata takdir mengantarkan saya untuk benar-benar menjadi seorang guru. Tidak
pernah terbayang sebelumnya. Seperti yang pernah saya tulis pada tulisan saya
sebelumnya, menjadi seorang guru bukanlah cita-cita utama saya. Awalnya saya
bercita-cita untuk menjadi seorang dokter atau ahli kesehatan. Ternyata takdir
berkata lain, saya masuk jurusan pendidikan matematika UPI dan tentunya
disiapkan untuk menjadi seorang guru matematika. Allah memang maha mengetahui
diri saya, karena seiring berjalannya waktu ternyata saya mencintai bidang ini.
Saya yang gampang linu melihat luka memang kurang tepat untuk menjadi dokter.
Tahun
ini adalah untuk pertama kalinya saya menjadi guru di sekolah sebagai suatu
profesi atau pekerjaan. Berat memang, tanggungjawab sebagai seorang guru tak
dapat dipandang remeh begitupun dengan profesi lainnya. Saya ditempatkan untuk
mengajar empat kelas XII dan satu kelas XI. Muncullah beberapa pertanyaan dalam
benak, “bisakah saya mengajar kelas
XII?”. Dalam pikiran saya, untuk mengajar kelas XII haruslah guru senior
yang pengalamannya pun sudah banyak. Keraguan yang muncul pun saya jawab dengan
berhusnudzon. Dia mempercayakan amanah ini untuk saya karena saya mampu
menjalankannya.
Sekolah
tempat saya mengajar adalah Islamic
Boarding School , dengan kelas putra dan putrid dipisah. Ketika awal
mengetahui bahwa kelasnya dipisah, hal yang mengganjal dalam pikiran saya
adalah bagaimana jika saya kebagian mengajar di kelas putra. “Sudah kelas XII, putra pula? Di kelas itu
saya perempuan sendiri di tengah 32 putra. Alhasil pikiran-pikiran negatif
itu pun mulai menghantui. “bagaimana jika
anak putra itu jahilnya luar biasa? Kata orang, anak Islamic biarding school itu
kalau yang sholeh sholeeeh banget ya kalau yang nakal nakaalnya juga banget”. Lagi,
takdir mengantarkan saya pada hal-hal yang saya takuti. Dari lima kelas yang
saya ajar, 3 kelas diantaranya adalah kelas putra.
Saya
berusaha kembali menjawab ketakutan ini dengan berhusnudzon. Allah mengetahui
kelemahan saya, dan saya diuji untuk dapat melewatinya dengan kemampuan/
potensi saya yang saya sendiri masih meragukannya akan tetapi Allah maha
mengetahui bahwa saya memiliki potensi itu. Hari yang ditunggu dan mendebarkan
pun tiba. Hari pertama mengajar dan hari pertama itu jatuh pada kelas XII IPA 1
yang merupakan kelas putra. Dag dig dug pasti, bahkan seperti mau sidang
skripsi saja rasanya. Saya melangkah memasuki kelas kemudian mengucapkan salam.
Saya tatap semua mata yang juga menatap saya dengan rasa penasaran. Bahkan
sebelumsaya mulai perkenal, beberapa orang sudah memulainya dengan pertanyaan. “ibu guru baru ya? Ngajar apa bu?”. Saya potong pertanyaan mereka dengan
memerintahkan ketua kelas untuk berdo’a terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran.
Selesai berdo’a, maka pembelajran pun saya mulai dengan berkenalan terlebih
dahulu.
Saya
memperkenalkan diri seperti biasa, nama, asal daerah, riwayat pendidikan dan
tentunya sebagai guru apa. Kemudian saya menyatakan cukup untuk perkenalan diri
saya, dan sekarang giliran murid yang memperkenalkan diri. Tiba-tiba beberapa
orang mengangkat tangan dan menyampaikan pendapatnya bahwa perkenalan dirasa belum
cukup dan masih ada pertanyaan dari mereka. Hmm, dengan sedikit berat hati saya
persilakan beberapa orang untuk menyampaikan pertanyaan. Tentunya sudah saya
duga, pertanyaan yang sama dan selalu muncul di empat kelas lainnya “ibu usianya berapa tahun? Sudah menikah atau
belum?” sebenarnya itu adalah pertanyaan standar yang bisa saja saya
beritahu ketika awal memperkenalkan diri, akan tetapi saya tidak mau terlebih
dahulu menyampaikan itu di awal perkenalan. Oia, ada satu pertanyaan yang
paling lucu diantara yang lainnya : “ibu
sudah punya calon suami? Target nikah ibu kapan?” Pertanyaan yang saya
jawab dengan sedikit diplomatis,. *haha