Sabtu, 21 November 2015

Perempuan Spesial


Sebuah tayangan tentang seorang anak (yang sekarang telah menjadi ayah) yang menelusuri tempat dimana tersimpan kenangan tentang ayahnya yang sudah tiada sejak usianya 100 hari mengingatkan saya pada sosok perempuan special dalam hidup ini. Engkau pun pasti merasakan hal yang sama dengan anak itu bukan? Selama ini, kau begitu merindukan sosok ibu yang hanya kau kenali wajahnya melalui selembar foto saja.  Ya, masih teringat jelas ketika engkau berkisah bahwa kau ditinggalkan oleh ibu menghadapNya tapat 2 tahun setelah kau terlahir.
Setiap kali mengingat itu, saya tahu ada rindu yang begitu dalam yang selalu kau sembunyikan dengan wajah tegar ketika menceritakannya. Saya yang hanya membayangkan bagaimana sulitnya masa-masa yang kau alami tanpa kehadiran seorang ibu saja tak dapat menahan air mata, apalagi kau yang mengalaminya. Hebatnya engkau, kau tak pernah memperlihatkan itu di depan kami, anak-anakmu. Kau sembunyikan tangis kerinduan itu dalam untaian do’a-do’a untuknya.
Engkau perempuan yang begitu memesona dan mengagumkan untuk saya. Kau didik kami dengan penuh keikhlasan. Teringat ketika kau mengantarkan saya sekolah untuk pertama kalinya. Kau begitu sabar menunggui saya yang masih tak ingin ditinggal pergi sendiri di sekolah. Padahal kau sendiri bahkan harus mandiri sejak pertama masuk sekolah karena tak ada sosok ibu yang mengantar.
Masa remaja seorang anak perempuan adalah masa dimana dia begitu banyak bercerita dengan ibunya mengenai apa pun termasuk masa puber yang dialami. Saya pun begitu. Engkau adalah tempat curhat yang paling menyenangkan, paling mengerti tentang apa yang saya alami. Ketika itu, kemana kau tumpahkan kisah yang ingin kau curhatkan dengan sorang ibu? Saat pembagian rapot atau acara kenaikan kelas adalah salah satu momen yang paling membahagiakan. Begitu pun dengan saya. Begitu bahagia ketika kau mendampingi dari awal dan tersenyum bahagia ketika anakmu ini mendapatkan hasil terbaik. Engkau pun dulu pasti begitu menginginkan dapat didampingi dan menunjukkan hal-hal yang terbaik yang kau lakukan kepada seorang ibu.
Sulit rasanya membayangkan betapa perihnya rindu yang kau alami ketika kau menggenapkan setengah din tanpa kehadiran sosok ibu. Ketika itu kau pasti begitu merindukannya, berharap seorang ibu bisa menyaksikan kau yang telah menjadi seorang istri. Bukan hal mudah untuk dapat melewati masa-masa itu. Tapi kau telah berhasil lulus dalam ujian itu. Benarlah bahwa Allah tidak mungkin memberikan ujian di luar kemampuan hambaNya dan skenarioNya adalah yang terbaik. Allah begitu maha pengasih lagi maha penyayang. Dia wakilkan kasih sayang seorang ibu untuk kau melalui orang-orang yang sama ikhlasnya  dengan kasih sayang seorang ibu.
Tanpa pernah kau rasakan langsung bagaimana kesempurnaan kasih sayang seorang ibu, kini kau telah menjadi seorang ibu yang sempurna bagi kami.  Terimakasih mamah. Terimakasih wahai perempuan special dalam hidup ini atas kesempurnaan cinta dan kasih sayang yang selalu kau hujankan pada kami.
Chy_pratiwi

211115 16pm

Minggu, 30 Agustus 2015

Catatan Guru 1


Masih jelas dalam ingatan, di masa kecil saya bermain peran dengan teman-teman sebaya saya sebagai guru dan murid. Menjadi seorang guru adalah peran yang sering saya pilih di kala itu. Padahal ketika itu tidak terlintas cita-cita saya ingin menjadi seorang guru. Hanya saja saya senang memerankannya, pura-pura mengajarkan teman sebagai murid, membuat soal ulangan dan tentunya berpura-pura menilai ulangan.
Kini, jika mengingat momen itu saya sering tersenyum sendiri. Bagaimana tidak, ternyata takdir mengantarkan saya untuk benar-benar menjadi seorang guru. Tidak pernah terbayang sebelumnya. Seperti yang pernah saya tulis pada tulisan saya sebelumnya, menjadi seorang guru bukanlah cita-cita utama saya. Awalnya saya bercita-cita untuk menjadi seorang dokter atau ahli kesehatan. Ternyata takdir berkata lain, saya masuk jurusan pendidikan matematika UPI dan tentunya disiapkan untuk menjadi seorang guru matematika. Allah memang maha mengetahui diri saya, karena seiring berjalannya waktu ternyata saya mencintai bidang ini. Saya yang gampang linu melihat luka memang kurang tepat untuk menjadi dokter.
Tahun ini adalah untuk pertama kalinya saya menjadi guru di sekolah sebagai suatu profesi atau pekerjaan. Berat memang, tanggungjawab sebagai seorang guru tak dapat dipandang remeh begitupun dengan profesi lainnya. Saya ditempatkan untuk mengajar empat kelas XII dan satu kelas XI. Muncullah beberapa pertanyaan dalam benak, “bisakah saya mengajar kelas XII?”. Dalam pikiran saya, untuk mengajar kelas XII haruslah guru senior yang pengalamannya pun sudah banyak. Keraguan yang muncul pun saya jawab dengan berhusnudzon. Dia mempercayakan amanah ini untuk saya karena saya mampu menjalankannya.
Sekolah tempat saya mengajar adalah Islamic Boarding School , dengan kelas putra dan putrid dipisah. Ketika awal mengetahui bahwa kelasnya dipisah, hal yang mengganjal dalam pikiran saya adalah bagaimana jika saya kebagian mengajar di kelas putra. “Sudah kelas XII, putra pula? Di kelas itu saya perempuan sendiri di tengah 32 putra. Alhasil pikiran-pikiran negatif itu pun mulai menghantui. “bagaimana jika anak putra itu jahilnya luar biasa? Kata orang, anak Islamic biarding school itu kalau yang sholeh sholeeeh banget ya kalau yang nakal nakaalnya juga banget”. Lagi, takdir mengantarkan saya pada hal-hal yang saya takuti. Dari lima kelas yang saya ajar, 3 kelas diantaranya adalah kelas putra.
Saya berusaha kembali menjawab ketakutan ini dengan berhusnudzon. Allah mengetahui kelemahan saya, dan saya diuji untuk dapat melewatinya dengan kemampuan/ potensi saya yang saya sendiri masih meragukannya akan tetapi Allah maha mengetahui bahwa saya memiliki potensi itu. Hari yang ditunggu dan mendebarkan pun tiba. Hari pertama mengajar dan hari pertama itu jatuh pada kelas XII IPA 1 yang merupakan kelas putra. Dag dig dug pasti, bahkan seperti mau sidang skripsi saja rasanya. Saya melangkah memasuki kelas kemudian mengucapkan salam. Saya tatap semua mata yang juga menatap saya dengan rasa penasaran. Bahkan sebelumsaya mulai perkenal, beberapa orang sudah memulainya dengan pertanyaan. “ibu guru baru ya? Ngajar apa bu?”.  Saya potong pertanyaan mereka dengan memerintahkan ketua kelas untuk berdo’a terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran. Selesai berdo’a, maka pembelajran pun saya mulai dengan berkenalan terlebih dahulu.
Saya memperkenalkan diri seperti biasa, nama, asal daerah, riwayat pendidikan dan tentunya sebagai guru apa. Kemudian saya menyatakan cukup untuk perkenalan diri saya, dan sekarang giliran murid yang memperkenalkan diri. Tiba-tiba beberapa orang mengangkat tangan dan menyampaikan pendapatnya bahwa perkenalan dirasa belum cukup dan masih ada pertanyaan dari mereka. Hmm, dengan sedikit berat hati saya persilakan beberapa orang untuk menyampaikan pertanyaan. Tentunya sudah saya duga, pertanyaan yang sama dan selalu muncul di empat kelas lainnya “ibu usianya berapa tahun? Sudah menikah atau belum?” sebenarnya itu adalah pertanyaan standar yang bisa saja saya beritahu ketika awal memperkenalkan diri, akan tetapi saya tidak mau terlebih dahulu menyampaikan itu di awal perkenalan. Oia, ada satu pertanyaan yang paling lucu diantara yang lainnya : “ibu sudah punya calon suami? Target nikah ibu kapan?” Pertanyaan yang saya jawab dengan sedikit diplomatis,. *haha   

Minggu, 04 Januari 2015

Sajian Spesial Akhir Tahun



Desember 2014, bulan terakhir di tahun 2014 yang menyajikan banyak pembelajaran spesial bagi saya. Kisah yang banyak mengingatkan saya tentang makna kehidupan. Kebahagiaan dan kesedihan tentu akan datang silih berganti dalam kehidupan ini. Keduanya adalah ujian. Ujian bagaimana seharusnya kita menyikapi kebahagiaan dan kesedihan. Banyak makna dan hikmah dalam setiap kisah di dunia ini. Saya ingat seseorang yang mengatakan : “dalam setiap takdir Allah itu pasti terdapat hikmah dan pasti adil”. Keterbatasan ilmu kita (manusia)lah yang membuat kita (manusia) tidak menyadarinya.
20 Desember 2014 bisa disebut sebagai hari yang cukup bersejarah bagi saya. Hari ketika saya resmi diwisuda sebagai sarjana pendidikan matematika. Sebenarnya bagi saya momen yang paling membuat saya terharu adalah ketika sidang skripsi dan pengumuman kelulusan. Wisuda menjadi special karena keluarga ikut datang menyaksikan. Kebahagiaan terbesar saya adalah ketika menyaksikan kedua orangtua saya bahagia. Mereka lah yang sangat berperan selama ini. Mereka tak pernah lelah mendo’akan, membimbing, mendukung saya sampai saya bisa menyelesaikan studi S1 saya. Apapun yang saya lakukan sebagai bakti saya kepada orangtua tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan untuk saya. Saya merasa begitu bersyukur bisa disampaikan olehNya pada momen 20 desember 2014.  
Tak lama setelah momen kebahagiaan wisuda, momen liburan yang ditunggu pun tiba. Momen ketika liburan yang paling saya tunggu adalah saat-saat berkumpul bersama keluarga. Selama kurang lebih 4 tahun saya di bandung, kerinduan untuk berkumpul bersama keluarga tak pernah berkurang sedikit pun. Kebahagiaan pun semakin bertambah karena pada 28 Desember 2014 keluarga saya pindah rumah ke daerah tempat lahir mamah. Keinginan kami untuk dapat berkumpul bersama keluarga akhirnya dikabulkan oleh Nya. Bagaimana tidak bahagia? Kini kami tinggal berdekatan dengan keluarga kami, terutama keluarga dari mamah termasuk bapa (kakek) & mimih. Semenjak kecil saya dan adik-adik memanggil kakek dengan sebutan bapa. Awalnya mungkin karena mendengar mamah memanggil beliau bapa, jadi saya mengikutinya.
31 Desember 2014. Tiga hari setelah kepindahan kami, pukul 08.00 am bapa (kakek) mengeluh sakit sesak. Kami sekeluarga berkumpul di rumah bapa (kakek). Kemudian kami memutuskan membawa bapa (kakek) ke rumah sakit. Hampir semua keluarga ikut ke rumah sakit. Saya tetap tinggal di rumah bersama mamah karena mengingat kondisi mamah yang lemah. Tak lama berselang, uwa menelpon memberitahukan bahwa bapa (kakek) masuk ruang ICU. Ayah dan adik pertama saya yang di rumah sakit menitip pesan supaya jangan dulu memberitahu mamah. Saya berusaha untuk merahasiakannya, akan tetapi mamah pun akhirnya tahu. Alhamdulillah, kondisi mamah tidak selemah yang kami perkirakan. Mamah cukup kuat menerima kabar itu. Akan tetapi, kekhawatirannya tetap tergambar jelas di wajahnya. Saya berusaha menenangkan diri supaya kuat menerima takdir apapun itu, walaupun di dalam hati saya pun merasakan begitu khawatir dengan kondisi bapa (kakek).
08.30 pm ayah saya dari rumah sakit menelpon kembali. Saya merima telponnya dengan perasaan yang tidak karuan. Berita itu membuat saya sejenak tak dapat berpikir, air mata terus mengalir yang membuat mamah yang menyaksikan ikut menangis sembari terus menanyakan kenapa bapa? Ada apa? Saya menutup telpon dengan tangan gemetar. Saya mencoba menenangkan diri untuk menyampaikan berita itu kepada mamah. Saya harus kuat, supaya mamah pun bisa kuat menerima takdir ini. Setelah mendengar berita itu, tangis mamah pun pecah tak tertahan. Badannya lemas, untuk berdiri saja tak mampu. Saya berusaha mendampinginya supaya bisa lebih kuat. Perlahan-lahan keluarga dan tetangga mulai berdatangan ke rumah bapa(kakek), sedangkan saya dan beberapa keluarga masih di rumah kami berusaha menguatkan mamah. Setelah mamah merasa cukup kuat untuk berdiri, kami pun pergi ke rumah bapa (kakek) yang hanya berjarak beberapa meter. Sepanjang perjalanan ke rumah bapa (kakek) mamah terus memegang erat tangan ini, berusaha menguatkan dirinya.
  Sesampainya di rumah bapa (kakek), jenazah baru saja sampai di antar ambulance. Tangis mamah kembali pecah bersama dengan kakak-kakaknya dan adik-adiknya. Air mata saya pun mengalir semakin deras. Takdir seperti yang saya tulis diatas, sepahit apapun itu, pasti terdapat  hikmah dan pasti adil. Salah satu yang membuat kami ingin pindah ke daerah kelahiran mamah adalah agar kami bisa lebih dekat dengan keluarga terutama bapa (kakek) yang sering sakit. Tiga hari setelah kepindahan kami, bapa (kakek) dipanggil olehNya. Sedih dan pahit rasanya, akan tetapi ini adalah takdirNya dan Allah maha mengetahui yang terbaik untuk kami. Mamah dari hari ke hari semakin kuat menerima takdir bahwa orangtua satu-satunya kini telah menghadap Ilahi.
Ya, begitulah kematian. Datangnya tak pernah dapat kita prediksi. Hari senin (29/12/2014) malam bapa(kakek) menginap di rumah kami. Malam itu, kondisinya terlihat membaik, bahkan kami sempat mengobrol tertawa bersama menceritakan kisahnya jaman dulu. Tak pernah disangka bahwa 2 hari kemudian maut menjemputnya. Kematian adalah pelajaran berharga bagi kita yang masih diberi kesempatan hidup. Bahwa maut datang tiba-tiba, bahwa hanya amal yang akan dibawa ketika maut telah datang menjemput, bahwa kita harus senantiasa berusaha selalu istiqomah di jalanNya dan berdo’a agar dapat husnul khotimah. InsyaAllah Bapa(kakek) sudah tenang di sana, tinggal tugas kami sebagai keturunannya untuk senantiasa mendo’akannya dan menjadi keturunan yang sholeh dan sholehah.