Rabu, 21 Desember 2016

Beginikah Awal Perjuangan Itu Ibu


Hari ibu tahun ini terasa lebih special bagi saya. Alhamdulillah kini saya mulai diberikan amanah untuk menjadi seorang ibu. Tentu saja titel sebagai seorang ibu belum lah pantas disematkan pada saya. Saya baru saja memulai perjalanannya. Bahagia pasti saya rasakan, hingga ini adalah salahsatu kebahagiaan yang sulit untuk saya menguraikannya melalui kata-kata, Saya dan suami memang berkeinginan untuk tidak menunda memiliki anak. Dan merupakan anugerah yang tak terkira ketika Allah mengabulkan keinginan kami ini.

Bahagia tak selalu berarti jalan mulus tanpa rintangan, tantangan ataupun perjuangan. Begitupun dengan kebahagiaan saya saat ini, bukan tanpa perjuangan. Sebelum menikah saya pernah membaca buku tentang masa kehamilan dan melahirkan walaupun hanya sepintas dan tidak terlalu banyak. Ketika mengetahui saya positif hamil, maka selain banyak bertanya kepada ibu saya pun memperbanyak membaca buku mengenai kehamilan dan parenting baik dari sisi medis, agama maupun kisah pengalaman-pengalaman seorang ibu yang luar biasa.

Benarlah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena ternyata kondisi hamil seseorang itu berbeda-beda dan memiliki keunikan tersendiri. Minggu ke 1 samapai ke 2 saya tidak mengalami apa yang namanya morning sickness. Pada saat itu saya hanya sering merasa lelah dan lemas. Saya merasa lebih tenang karena saya berpikir mungkin saya termasuk ibu hamil yang tidak mengalami morning sickness (mual, muntah). Karena beberapa ibu hamil tidak mengalami mual dan muntah pada masa kehamilannya.

Ternyata takdir berkata lain, memasuki minggku ke 4 saya mulai merasakan bagaimana morning sickness itu. Penciuman saya juga mulai lebih tajam dan sensitif. Sering merasa mual bahkan muntah ketika mencium bau tertentu. Pada masa kehamilan ini saya masih tinggal terpisah dengan suami. Suami kerja di Jakarta sedangkan saya masih harus menyelesaikan amanah saya hingga bulan Juni di Bogor. Alhamdulillah suami bisa menngerti dan mengizinkan saya untuk menyelesaikan terlebih dahulu amanah saya di sini hingga akhir tahun ajaran. Suami pulang ke tempat tinggal sementara kami di Bogor seminggu sekali. Lucunya tempat tinggal kami hanya kami tinggali di akhir pekan karena pada saat weekday sayapun tinggal di asrama tempat saya mengajar. Tidak apalah berjauhan dulu dengan suami untuk sementara, toh dulu saja semenjak kuliah biasanya juga sendiri jauh dari keluarga. 

Dugaan saya untuk tidak merasa kenapa-kenapa ketika harus jauh dari suami ternyata salah. Keadaan ternyata berbeda ketika sudah menikah terlebih sedang dalam kondisi hamil juga. Jujur saja, saya merasa agak sedih ketika jauh dari suami dan keluarga pada masa-masa seperti ini. Akan tetapi saya harus melawan perasaan itu. Ketika ibunya sedih maka anak dalam kandungannyapun akan ikut merasakannya. Kini saya tidak lagi sendiri, dalam tubuh saya telah tumbuh satu sosok yang harus saya jaga dan perjuangkan. Dan untuk menjaganya saya harus belajar makna sebenarnya dari kata kuat.

Kuat dan berjuang adalah dua kata yang selalu beriringan. Memasuki pekan ke 5 dan 6 mual dan muntah semakin sering. Bahkan entah kenapa sayapun tak bisa makan nasi. Bukan tidak mau, tapi ketika dipaksakan makan nasi maka tidak lama kemudian akan dimuntahkan kembali. Tanpa nasi badan mulai terasa lemas, tapi saya paksakan makan apapun pengganti nasi seperti buah pisang atau roti agar nutrisi tetap terpenuhi. Saat itu yang terpikir oleh saya bukan lagi tentang tubuh saya tapi tubuh dia sosok yang Allah amanahkan yang hidup di rahim saya. 

Kurang lebih 5 hari tidak makan nasi dan lauk pauk, puncak paling parah terjadi ketika hari sabtu saya dan suami pulang ke rumah orangtua. Dari siang sampai malam saya tidak berhenti mual dan muntah. Jangankan makanan, minum saja beberapa saat kemudian langsung muntah kembali. Entah sudah berapa kali saya bolak balik kamar mandi muntah dan karena lambung sudah tak lagi menampung makanan maka yang dikeluarkan pun cairan asam yang tentu saja rasanya sangat tidak enak. Saya bersyukur karena itu terjadi ketika saya menginap di rumah orangtua. Saya merasa lebih tenang karena suami sedang pulang dan terlebih karena ada mamah. Mamah selalu menjadi ibu yang luar biasa. Akhirnya karena tubuh saya sudah tidak kuat, kami memutuskan untuk pergi ke klinik terdekat pada pukul 23.00.

Saat itu, saya merasakan tubuh saya semakin lemah dan saya sangat ingin untuk segera ke klinik terdekat agar dapat diinfus. Sebenarnya saya sangat benci dengan namanya jarum suntik. Bahkan ketika saya sakit lumayan parah sekalipun saya paling tidak mau diinfus. Tapi kali ini berbeda. Saya begitu menginginkan untuk segera diinfus. Lagi-lagi bukan tubuh saya yang saya khawatirkan saat itu, tapi saya sangat khawatir dengan dia sosok yang Allah amanahkan dalam rahim saya. Jika saya dibiarkan saja lemas tanpa ada makanan atau minuman masuk bagaimana nutrisi dia bisa terpenuhi. Itulah kenapa yang ada dalam benak saya saat itu adalah untuk segera ke klinik dan diinfus.

Kejadian muntah seperti di atas ternyata bukan yang pertama dan terakhir. Dalam trimester pertama ini Alhamdulillah saya mengalaminya beberapa kali. Sehingga dalam beberapa kali kontrol berat badan saya terus turun. Walaupun demikian, Alhamdulillah janinnya berkembang dengan baik. Itu yang paling menenangkan saya. Mual dan muntah-muntah tentunya lebih berasa berat ketika terjadinya di asrama dimana jauh dari suami dan orang-orang terdekat. Tapi sekali lagi saya tekadkan untuk melawan perasaan saya sendiri. Saya harus kuat demi dia. Dulu saya percaya tidak percaya dengan yang namanya ngidam atau keinginan aneh dari orang yang sedang hamil. Tenyata keinginan akan suatu makanan tertentu itu muncul karena memang rata-rata ibu hamil eneg akan makanan tertentu atau makanan yang biasanya. Jadilah seorang ibu hamil membayangkan sepertinya enak kalau makan ini, itu dll yang tidak ada di sekitarnya. Kurang lebih itulah yang saya rasakan ketika menginginkan makanan tertentu. Dan lucunya ketika makanan itu sudah ada, malah hanya dimakan sedikit atau bahkan hanya dicicipi karena ternyata berasa eneg juga. Dari sisi ngidam saya tidak terlalu merasakan yang aneh-aneh seperti ibu hamil lainnya. Akan tetapi saya sempat merasakan bau dan eneg dengan bumbu-bumbu masak seperti bawang dll juga suka pusing ketika ada di keramainan (kumpulan orang banyak). Maka untuk beberapa minggu saya tidak bisa memasak sendiri untuk suami. 

Di trimester pertama ini banyak sebenarnya kisah yang ingin dibagi. Ingin rasanya menulis membagi kisah dari semenjak pertama berita bahagia itu ada. Tapi apa daya, jangankan untuk menulis, untuk sekadar membuka media sosial, grup atau apapun di HP itu tidak sempat dan tidak bisa. Apa yang saya alami ini belumlah seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan seorang ibu yang seutuhnya. Sekali lagi, saya baru saja memulai jalan perjuangan ini. Baru merasakan bagaimana merasakan ada seseorang yang lebih saya sayangi, cintai dan jaga daripada diri saya sendiri. Maka pantas saja jika dikatakan surga itu berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Maka pantas saja ketika ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang harus dihormati, Beliau SAW menjawab ibumu sebanyak tiga kali baru kemudian ayahmu.

Di hari ibu ini, saya, kamu dan kita semua baik yang telah menjadi orangtua ataupun yang mau menjadi orangtua haruslah selalu mengingat bahwa perjuangan ibu kita untuk membesarkan kita dari mulai segumpal darah hingga saat ini begitu berat. Bukan jalan yang mudah, tapi dengan senyuman bahagia ibu kita menjalaninya. Perjuangan yang bahkan mempertaruhkan nyawanya, tapi ibu kita rela melakukannya dengan penuh keikhlasan. Kenapa perjuangan berat itu bisa dilakukan oleh seorang ibu yang bahkan kalau kita lihat fisiknya tidaklah sekokoh ayah. Itu semua bisa seorang ibu lakukan karena ia memiliki hati yang begitu kuat. Hati yang Allah titipkan agar kelak seorang anak bisa mengenal penciptaNya melalui cinta, kasih sayang dan didikan seorang ibu sebagai madrasah pertamanya.

Awal perjalanan ini semakin menyadarkan saya akan luar biasanya sosok mamah. Bahkan hingga saat ini saya masih saja menyusahkan, merepotkannya. Begini juga mungkin yang dialaminya dulu ketika awal memasuki perjuangan panjang sebagai seorang ibu. Bahkan tentu lebih berat yang ia rasakan karena ketika itu sudah tak ada lagi seorang ibu tempatnya untuk berbagi keluh kesah, menenangkan dan menguatkan seperti yang ia lakukan untuk saya. Di balik tubuhnya yang tidak lebih besar dari saya itu, tersimpan kekuatan yang begitu besar. Tak ada yang bisa membalas apa yang telah dilakukannya sebagai seorang ibu. Apapun itu, materi sebanyak apapun itu tidak akan pernah sebanding. Terimakasih mamah.. 

Selamat hari ibu untuk seluruh ibu.. Juga untuk sosok ibu-ibu lain yang telah hadir menginspirasi dalam hidup saya. Semoga selalu adalah dalam keridhoan dan keberkahanNya..
I do Love you..
Bogor, 20122016
11pm