Minggu, 04 Januari 2015

Sajian Spesial Akhir Tahun



Desember 2014, bulan terakhir di tahun 2014 yang menyajikan banyak pembelajaran spesial bagi saya. Kisah yang banyak mengingatkan saya tentang makna kehidupan. Kebahagiaan dan kesedihan tentu akan datang silih berganti dalam kehidupan ini. Keduanya adalah ujian. Ujian bagaimana seharusnya kita menyikapi kebahagiaan dan kesedihan. Banyak makna dan hikmah dalam setiap kisah di dunia ini. Saya ingat seseorang yang mengatakan : “dalam setiap takdir Allah itu pasti terdapat hikmah dan pasti adil”. Keterbatasan ilmu kita (manusia)lah yang membuat kita (manusia) tidak menyadarinya.
20 Desember 2014 bisa disebut sebagai hari yang cukup bersejarah bagi saya. Hari ketika saya resmi diwisuda sebagai sarjana pendidikan matematika. Sebenarnya bagi saya momen yang paling membuat saya terharu adalah ketika sidang skripsi dan pengumuman kelulusan. Wisuda menjadi special karena keluarga ikut datang menyaksikan. Kebahagiaan terbesar saya adalah ketika menyaksikan kedua orangtua saya bahagia. Mereka lah yang sangat berperan selama ini. Mereka tak pernah lelah mendo’akan, membimbing, mendukung saya sampai saya bisa menyelesaikan studi S1 saya. Apapun yang saya lakukan sebagai bakti saya kepada orangtua tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan untuk saya. Saya merasa begitu bersyukur bisa disampaikan olehNya pada momen 20 desember 2014.  
Tak lama setelah momen kebahagiaan wisuda, momen liburan yang ditunggu pun tiba. Momen ketika liburan yang paling saya tunggu adalah saat-saat berkumpul bersama keluarga. Selama kurang lebih 4 tahun saya di bandung, kerinduan untuk berkumpul bersama keluarga tak pernah berkurang sedikit pun. Kebahagiaan pun semakin bertambah karena pada 28 Desember 2014 keluarga saya pindah rumah ke daerah tempat lahir mamah. Keinginan kami untuk dapat berkumpul bersama keluarga akhirnya dikabulkan oleh Nya. Bagaimana tidak bahagia? Kini kami tinggal berdekatan dengan keluarga kami, terutama keluarga dari mamah termasuk bapa (kakek) & mimih. Semenjak kecil saya dan adik-adik memanggil kakek dengan sebutan bapa. Awalnya mungkin karena mendengar mamah memanggil beliau bapa, jadi saya mengikutinya.
31 Desember 2014. Tiga hari setelah kepindahan kami, pukul 08.00 am bapa (kakek) mengeluh sakit sesak. Kami sekeluarga berkumpul di rumah bapa (kakek). Kemudian kami memutuskan membawa bapa (kakek) ke rumah sakit. Hampir semua keluarga ikut ke rumah sakit. Saya tetap tinggal di rumah bersama mamah karena mengingat kondisi mamah yang lemah. Tak lama berselang, uwa menelpon memberitahukan bahwa bapa (kakek) masuk ruang ICU. Ayah dan adik pertama saya yang di rumah sakit menitip pesan supaya jangan dulu memberitahu mamah. Saya berusaha untuk merahasiakannya, akan tetapi mamah pun akhirnya tahu. Alhamdulillah, kondisi mamah tidak selemah yang kami perkirakan. Mamah cukup kuat menerima kabar itu. Akan tetapi, kekhawatirannya tetap tergambar jelas di wajahnya. Saya berusaha menenangkan diri supaya kuat menerima takdir apapun itu, walaupun di dalam hati saya pun merasakan begitu khawatir dengan kondisi bapa (kakek).
08.30 pm ayah saya dari rumah sakit menelpon kembali. Saya merima telponnya dengan perasaan yang tidak karuan. Berita itu membuat saya sejenak tak dapat berpikir, air mata terus mengalir yang membuat mamah yang menyaksikan ikut menangis sembari terus menanyakan kenapa bapa? Ada apa? Saya menutup telpon dengan tangan gemetar. Saya mencoba menenangkan diri untuk menyampaikan berita itu kepada mamah. Saya harus kuat, supaya mamah pun bisa kuat menerima takdir ini. Setelah mendengar berita itu, tangis mamah pun pecah tak tertahan. Badannya lemas, untuk berdiri saja tak mampu. Saya berusaha mendampinginya supaya bisa lebih kuat. Perlahan-lahan keluarga dan tetangga mulai berdatangan ke rumah bapa(kakek), sedangkan saya dan beberapa keluarga masih di rumah kami berusaha menguatkan mamah. Setelah mamah merasa cukup kuat untuk berdiri, kami pun pergi ke rumah bapa (kakek) yang hanya berjarak beberapa meter. Sepanjang perjalanan ke rumah bapa (kakek) mamah terus memegang erat tangan ini, berusaha menguatkan dirinya.
  Sesampainya di rumah bapa (kakek), jenazah baru saja sampai di antar ambulance. Tangis mamah kembali pecah bersama dengan kakak-kakaknya dan adik-adiknya. Air mata saya pun mengalir semakin deras. Takdir seperti yang saya tulis diatas, sepahit apapun itu, pasti terdapat  hikmah dan pasti adil. Salah satu yang membuat kami ingin pindah ke daerah kelahiran mamah adalah agar kami bisa lebih dekat dengan keluarga terutama bapa (kakek) yang sering sakit. Tiga hari setelah kepindahan kami, bapa (kakek) dipanggil olehNya. Sedih dan pahit rasanya, akan tetapi ini adalah takdirNya dan Allah maha mengetahui yang terbaik untuk kami. Mamah dari hari ke hari semakin kuat menerima takdir bahwa orangtua satu-satunya kini telah menghadap Ilahi.
Ya, begitulah kematian. Datangnya tak pernah dapat kita prediksi. Hari senin (29/12/2014) malam bapa(kakek) menginap di rumah kami. Malam itu, kondisinya terlihat membaik, bahkan kami sempat mengobrol tertawa bersama menceritakan kisahnya jaman dulu. Tak pernah disangka bahwa 2 hari kemudian maut menjemputnya. Kematian adalah pelajaran berharga bagi kita yang masih diberi kesempatan hidup. Bahwa maut datang tiba-tiba, bahwa hanya amal yang akan dibawa ketika maut telah datang menjemput, bahwa kita harus senantiasa berusaha selalu istiqomah di jalanNya dan berdo’a agar dapat husnul khotimah. InsyaAllah Bapa(kakek) sudah tenang di sana, tinggal tugas kami sebagai keturunannya untuk senantiasa mendo’akannya dan menjadi keturunan yang sholeh dan sholehah.