Desember
2014, bulan terakhir di tahun 2014 yang menyajikan banyak pembelajaran spesial
bagi saya. Kisah yang banyak mengingatkan saya tentang makna kehidupan.
Kebahagiaan dan kesedihan tentu akan datang silih berganti dalam kehidupan ini.
Keduanya adalah ujian. Ujian bagaimana seharusnya kita menyikapi kebahagiaan
dan kesedihan. Banyak makna dan hikmah dalam setiap kisah di dunia ini. Saya
ingat seseorang yang mengatakan : “dalam setiap takdir Allah itu pasti terdapat
hikmah dan pasti adil”. Keterbatasan ilmu kita (manusia)lah yang membuat kita
(manusia) tidak menyadarinya.
20
Desember 2014 bisa disebut sebagai hari yang cukup bersejarah bagi saya. Hari
ketika saya resmi diwisuda sebagai sarjana pendidikan matematika. Sebenarnya
bagi saya momen yang paling membuat saya terharu adalah ketika sidang skripsi
dan pengumuman kelulusan. Wisuda menjadi special karena keluarga ikut datang
menyaksikan. Kebahagiaan terbesar saya adalah ketika menyaksikan kedua orangtua
saya bahagia. Mereka lah yang sangat berperan selama ini. Mereka tak pernah
lelah mendo’akan, membimbing, mendukung saya sampai saya bisa menyelesaikan
studi S1 saya. Apapun yang saya lakukan sebagai bakti saya kepada orangtua
tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan untuk saya. Saya
merasa begitu bersyukur bisa disampaikan olehNya pada momen 20 desember 2014.
Tak
lama setelah momen kebahagiaan wisuda, momen liburan yang ditunggu pun tiba.
Momen ketika liburan yang paling saya tunggu adalah saat-saat berkumpul bersama
keluarga. Selama kurang lebih 4 tahun saya di bandung, kerinduan untuk
berkumpul bersama keluarga tak pernah berkurang sedikit pun. Kebahagiaan pun
semakin bertambah karena pada 28 Desember 2014 keluarga saya pindah rumah ke
daerah tempat lahir mamah. Keinginan kami untuk dapat berkumpul bersama
keluarga akhirnya dikabulkan oleh Nya. Bagaimana tidak bahagia? Kini kami
tinggal berdekatan dengan keluarga kami, terutama keluarga dari mamah termasuk
bapa (kakek) & mimih. Semenjak kecil saya dan adik-adik memanggil kakek
dengan sebutan bapa. Awalnya mungkin karena mendengar mamah memanggil beliau
bapa, jadi saya mengikutinya.
31
Desember 2014. Tiga hari setelah kepindahan kami, pukul 08.00 am bapa (kakek)
mengeluh sakit sesak. Kami sekeluarga berkumpul di rumah bapa (kakek). Kemudian
kami memutuskan membawa bapa (kakek) ke rumah sakit. Hampir semua keluarga ikut
ke rumah sakit. Saya tetap tinggal di rumah bersama mamah karena mengingat
kondisi mamah yang lemah. Tak lama berselang, uwa menelpon memberitahukan bahwa
bapa (kakek) masuk ruang ICU. Ayah dan adik pertama saya yang di rumah sakit
menitip pesan supaya jangan dulu memberitahu mamah. Saya berusaha untuk
merahasiakannya, akan tetapi mamah pun akhirnya tahu. Alhamdulillah, kondisi
mamah tidak selemah yang kami perkirakan. Mamah cukup kuat menerima kabar itu.
Akan tetapi, kekhawatirannya tetap tergambar jelas di wajahnya. Saya berusaha
menenangkan diri supaya kuat menerima takdir apapun itu, walaupun di dalam hati
saya pun merasakan begitu khawatir dengan kondisi bapa (kakek).
08.30
pm ayah saya dari rumah sakit menelpon kembali. Saya merima telponnya dengan
perasaan yang tidak karuan. Berita itu membuat saya sejenak tak dapat berpikir,
air mata terus mengalir yang membuat mamah yang menyaksikan ikut menangis
sembari terus menanyakan kenapa bapa? Ada apa? Saya menutup telpon dengan
tangan gemetar. Saya mencoba menenangkan diri untuk menyampaikan berita itu
kepada mamah. Saya harus kuat, supaya mamah pun bisa kuat menerima takdir ini.
Setelah mendengar berita itu, tangis mamah pun pecah tak tertahan. Badannya
lemas, untuk berdiri saja tak mampu. Saya berusaha mendampinginya supaya bisa
lebih kuat. Perlahan-lahan keluarga dan tetangga mulai berdatangan ke rumah
bapa(kakek), sedangkan saya dan beberapa keluarga masih di rumah kami berusaha
menguatkan mamah. Setelah mamah merasa cukup kuat untuk berdiri, kami pun pergi
ke rumah bapa (kakek) yang hanya berjarak beberapa meter. Sepanjang perjalanan
ke rumah bapa (kakek) mamah terus memegang erat tangan ini, berusaha menguatkan
dirinya.
Sesampainya di rumah bapa (kakek), jenazah
baru saja sampai di antar ambulance. Tangis mamah kembali pecah bersama dengan
kakak-kakaknya dan adik-adiknya. Air mata saya pun mengalir semakin deras.
Takdir seperti yang saya tulis diatas, sepahit apapun itu, pasti terdapat hikmah dan pasti adil. Salah satu yang
membuat kami ingin pindah ke daerah kelahiran mamah adalah agar kami bisa lebih
dekat dengan keluarga terutama bapa (kakek) yang sering sakit. Tiga hari
setelah kepindahan kami, bapa (kakek) dipanggil olehNya. Sedih dan pahit
rasanya, akan tetapi ini adalah takdirNya dan Allah maha mengetahui yang
terbaik untuk kami. Mamah dari hari ke hari semakin kuat menerima takdir bahwa
orangtua satu-satunya kini telah menghadap Ilahi.
Ya,
begitulah kematian. Datangnya tak pernah dapat kita prediksi. Hari senin
(29/12/2014) malam bapa(kakek) menginap di rumah kami. Malam itu, kondisinya
terlihat membaik, bahkan kami sempat mengobrol tertawa bersama menceritakan
kisahnya jaman dulu. Tak pernah disangka bahwa 2 hari kemudian maut
menjemputnya. Kematian adalah pelajaran berharga bagi kita yang masih diberi
kesempatan hidup. Bahwa maut datang tiba-tiba, bahwa hanya amal yang akan
dibawa ketika maut telah datang menjemput, bahwa kita harus senantiasa berusaha
selalu istiqomah di jalanNya dan berdo’a agar dapat husnul khotimah. InsyaAllah
Bapa(kakek) sudah tenang di sana, tinggal tugas kami sebagai keturunannya untuk
senantiasa mendo’akannya dan menjadi keturunan yang sholeh dan sholehah.