Hari ibu tahun ini terasa lebih special bagi saya. Alhamdulillah
kini saya mulai diberikan amanah untuk menjadi seorang ibu. Tentu saja titel
sebagai seorang ibu belum lah pantas disematkan pada saya. Saya baru saja
memulai perjalanannya. Bahagia pasti saya rasakan, hingga ini adalah salahsatu
kebahagiaan yang sulit untuk saya menguraikannya melalui kata-kata, Saya dan
suami memang berkeinginan untuk tidak menunda memiliki anak. Dan merupakan
anugerah yang tak terkira ketika Allah mengabulkan keinginan kami ini.
Bahagia tak selalu berarti jalan mulus tanpa rintangan,
tantangan ataupun perjuangan. Begitupun dengan kebahagiaan saya saat ini, bukan
tanpa perjuangan. Sebelum menikah saya pernah membaca buku tentang masa
kehamilan dan melahirkan walaupun hanya sepintas dan tidak terlalu banyak.
Ketika mengetahui saya positif hamil, maka selain banyak bertanya kepada ibu
saya pun memperbanyak membaca buku mengenai kehamilan dan parenting baik
dari sisi medis, agama maupun kisah pengalaman-pengalaman seorang ibu yang luar
biasa.
Benarlah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena
ternyata kondisi hamil seseorang itu berbeda-beda dan memiliki keunikan
tersendiri. Minggu ke 1 samapai ke 2 saya tidak mengalami apa yang namanya morning
sickness. Pada saat itu saya hanya sering merasa lelah dan lemas. Saya
merasa lebih tenang karena saya berpikir mungkin saya termasuk ibu hamil yang
tidak mengalami morning sickness (mual, muntah). Karena beberapa ibu
hamil tidak mengalami mual dan muntah pada masa kehamilannya.
Ternyata takdir berkata lain, memasuki minggku ke 4 saya mulai
merasakan bagaimana morning sickness itu. Penciuman saya juga mulai
lebih tajam dan sensitif. Sering merasa mual bahkan muntah ketika mencium bau
tertentu. Pada masa kehamilan ini saya masih tinggal terpisah dengan suami.
Suami kerja di Jakarta sedangkan saya masih harus menyelesaikan amanah saya
hingga bulan Juni di Bogor. Alhamdulillah suami bisa menngerti dan mengizinkan
saya untuk menyelesaikan terlebih dahulu amanah saya di sini hingga akhir tahun
ajaran. Suami pulang ke tempat tinggal sementara kami di Bogor seminggu sekali.
Lucunya tempat tinggal kami hanya kami tinggali di akhir pekan karena pada saat
weekday sayapun tinggal di asrama tempat saya mengajar. Tidak apalah
berjauhan dulu dengan suami untuk sementara, toh dulu saja semenjak kuliah
biasanya juga sendiri jauh dari keluarga.
Dugaan saya untuk tidak merasa kenapa-kenapa ketika harus jauh
dari suami ternyata salah. Keadaan ternyata berbeda ketika sudah menikah
terlebih sedang dalam kondisi hamil juga. Jujur saja, saya merasa agak sedih
ketika jauh dari suami dan keluarga pada masa-masa seperti ini. Akan tetapi
saya harus melawan perasaan itu. Ketika ibunya sedih maka anak dalam
kandungannyapun akan ikut merasakannya. Kini saya tidak lagi sendiri, dalam
tubuh saya telah tumbuh satu sosok yang harus saya jaga dan perjuangkan. Dan
untuk menjaganya saya harus belajar makna sebenarnya dari kata kuat.
Kuat dan berjuang adalah dua kata yang selalu beriringan.
Memasuki pekan ke 5 dan 6 mual dan muntah semakin sering. Bahkan entah kenapa
sayapun tak bisa makan nasi. Bukan tidak mau, tapi ketika dipaksakan makan nasi
maka tidak lama kemudian akan dimuntahkan kembali. Tanpa nasi badan mulai
terasa lemas, tapi saya paksakan makan apapun pengganti nasi seperti buah
pisang atau roti agar nutrisi tetap terpenuhi. Saat itu yang terpikir oleh saya
bukan lagi tentang tubuh saya tapi tubuh dia sosok yang Allah amanahkan yang
hidup di rahim saya.
Kurang lebih 5 hari tidak makan nasi dan lauk pauk, puncak
paling parah terjadi ketika hari sabtu saya dan suami pulang ke rumah orangtua.
Dari siang sampai malam saya tidak berhenti mual dan muntah. Jangankan makanan,
minum saja beberapa saat kemudian langsung muntah kembali. Entah sudah berapa
kali saya bolak balik kamar mandi muntah dan karena lambung sudah tak lagi
menampung makanan maka yang dikeluarkan pun cairan asam yang tentu saja rasanya
sangat tidak enak. Saya bersyukur karena itu terjadi ketika saya menginap di
rumah orangtua. Saya merasa lebih tenang karena suami sedang pulang dan
terlebih karena ada mamah. Mamah selalu menjadi ibu yang luar biasa. Akhirnya
karena tubuh saya sudah tidak kuat, kami memutuskan untuk pergi ke klinik
terdekat pada pukul 23.00.
Saat itu, saya merasakan tubuh saya semakin lemah dan saya
sangat ingin untuk segera ke klinik terdekat agar dapat diinfus. Sebenarnya
saya sangat benci dengan namanya jarum suntik. Bahkan ketika saya sakit lumayan
parah sekalipun saya paling tidak mau diinfus. Tapi kali ini berbeda. Saya
begitu menginginkan untuk segera diinfus. Lagi-lagi bukan tubuh saya yang saya
khawatirkan saat itu, tapi saya sangat khawatir dengan dia sosok yang Allah
amanahkan dalam rahim saya. Jika saya dibiarkan saja lemas tanpa ada makanan
atau minuman masuk bagaimana nutrisi dia bisa terpenuhi. Itulah kenapa yang ada
dalam benak saya saat itu adalah untuk segera ke klinik dan diinfus.
Kejadian muntah seperti di atas ternyata bukan yang pertama dan
terakhir. Dalam trimester pertama ini Alhamdulillah saya mengalaminya beberapa
kali. Sehingga dalam beberapa kali kontrol berat badan saya terus turun.
Walaupun demikian, Alhamdulillah janinnya berkembang dengan baik. Itu yang
paling menenangkan saya. Mual dan muntah-muntah tentunya lebih berasa berat
ketika terjadinya di asrama dimana jauh dari suami dan orang-orang terdekat.
Tapi sekali lagi saya tekadkan untuk melawan perasaan saya sendiri. Saya harus
kuat demi dia. Dulu saya percaya tidak percaya dengan yang namanya ngidam atau
keinginan aneh dari orang yang sedang hamil. Tenyata keinginan akan suatu
makanan tertentu itu muncul karena memang rata-rata ibu hamil eneg akan makanan
tertentu atau makanan yang biasanya. Jadilah seorang ibu hamil membayangkan
sepertinya enak kalau makan ini, itu dll yang tidak ada di sekitarnya. Kurang
lebih itulah yang saya rasakan ketika menginginkan makanan tertentu. Dan
lucunya ketika makanan itu sudah ada, malah hanya dimakan sedikit atau bahkan
hanya dicicipi karena ternyata berasa eneg juga. Dari sisi ngidam saya tidak
terlalu merasakan yang aneh-aneh seperti ibu hamil lainnya. Akan tetapi saya
sempat merasakan bau dan eneg dengan bumbu-bumbu masak seperti bawang dll juga
suka pusing ketika ada di keramainan (kumpulan orang banyak). Maka untuk
beberapa minggu saya tidak bisa memasak sendiri untuk suami.
Di trimester pertama ini banyak sebenarnya kisah yang ingin
dibagi. Ingin rasanya menulis membagi kisah dari semenjak pertama berita
bahagia itu ada. Tapi apa daya, jangankan untuk menulis, untuk sekadar membuka
media sosial, grup atau apapun di HP itu tidak sempat dan tidak bisa. Apa yang
saya alami ini belumlah seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan seorang
ibu yang seutuhnya. Sekali lagi, saya baru saja memulai jalan perjuangan ini.
Baru merasakan bagaimana merasakan ada seseorang yang lebih saya sayangi,
cintai dan jaga daripada diri saya sendiri. Maka pantas saja jika dikatakan
surga itu berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Maka pantas saja ketika ada
seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang harus
dihormati, Beliau SAW menjawab ibumu sebanyak tiga kali baru kemudian ayahmu.
Di hari ibu ini, saya, kamu dan kita semua baik yang telah
menjadi orangtua ataupun yang mau menjadi orangtua haruslah selalu mengingat
bahwa perjuangan ibu kita untuk membesarkan kita dari mulai segumpal darah
hingga saat ini begitu berat. Bukan jalan yang mudah, tapi dengan senyuman
bahagia ibu kita menjalaninya. Perjuangan yang bahkan mempertaruhkan nyawanya,
tapi ibu kita rela melakukannya dengan penuh keikhlasan. Kenapa perjuangan
berat itu bisa dilakukan oleh seorang ibu yang bahkan kalau kita lihat fisiknya
tidaklah sekokoh ayah. Itu semua bisa seorang ibu lakukan karena ia memiliki
hati yang begitu kuat. Hati yang Allah titipkan agar kelak seorang anak bisa
mengenal penciptaNya melalui cinta, kasih sayang dan didikan seorang ibu
sebagai madrasah pertamanya.
Awal perjalanan ini semakin menyadarkan saya akan luar biasanya
sosok mamah. Bahkan hingga saat ini saya masih saja menyusahkan, merepotkannya.
Begini juga mungkin yang dialaminya dulu ketika awal memasuki perjuangan
panjang sebagai seorang ibu. Bahkan tentu lebih berat yang ia rasakan karena
ketika itu sudah tak ada lagi seorang ibu tempatnya untuk berbagi keluh kesah,
menenangkan dan menguatkan seperti yang ia lakukan untuk saya. Di balik tubuhnya
yang tidak lebih besar dari saya itu, tersimpan kekuatan yang begitu besar. Tak
ada yang bisa membalas apa yang telah dilakukannya sebagai seorang ibu. Apapun
itu, materi sebanyak apapun itu tidak akan pernah sebanding. Terimakasih
mamah..
Selamat hari ibu untuk seluruh ibu.. Juga untuk sosok ibu-ibu
lain yang telah hadir menginspirasi dalam hidup saya. Semoga selalu adalah
dalam keridhoan dan keberkahanNya..
I do Love you..
Bogor, 20122016
11pm