Rabu, 21 Desember 2016

Beginikah Awal Perjuangan Itu Ibu


Hari ibu tahun ini terasa lebih special bagi saya. Alhamdulillah kini saya mulai diberikan amanah untuk menjadi seorang ibu. Tentu saja titel sebagai seorang ibu belum lah pantas disematkan pada saya. Saya baru saja memulai perjalanannya. Bahagia pasti saya rasakan, hingga ini adalah salahsatu kebahagiaan yang sulit untuk saya menguraikannya melalui kata-kata, Saya dan suami memang berkeinginan untuk tidak menunda memiliki anak. Dan merupakan anugerah yang tak terkira ketika Allah mengabulkan keinginan kami ini.

Bahagia tak selalu berarti jalan mulus tanpa rintangan, tantangan ataupun perjuangan. Begitupun dengan kebahagiaan saya saat ini, bukan tanpa perjuangan. Sebelum menikah saya pernah membaca buku tentang masa kehamilan dan melahirkan walaupun hanya sepintas dan tidak terlalu banyak. Ketika mengetahui saya positif hamil, maka selain banyak bertanya kepada ibu saya pun memperbanyak membaca buku mengenai kehamilan dan parenting baik dari sisi medis, agama maupun kisah pengalaman-pengalaman seorang ibu yang luar biasa.

Benarlah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena ternyata kondisi hamil seseorang itu berbeda-beda dan memiliki keunikan tersendiri. Minggu ke 1 samapai ke 2 saya tidak mengalami apa yang namanya morning sickness. Pada saat itu saya hanya sering merasa lelah dan lemas. Saya merasa lebih tenang karena saya berpikir mungkin saya termasuk ibu hamil yang tidak mengalami morning sickness (mual, muntah). Karena beberapa ibu hamil tidak mengalami mual dan muntah pada masa kehamilannya.

Ternyata takdir berkata lain, memasuki minggku ke 4 saya mulai merasakan bagaimana morning sickness itu. Penciuman saya juga mulai lebih tajam dan sensitif. Sering merasa mual bahkan muntah ketika mencium bau tertentu. Pada masa kehamilan ini saya masih tinggal terpisah dengan suami. Suami kerja di Jakarta sedangkan saya masih harus menyelesaikan amanah saya hingga bulan Juni di Bogor. Alhamdulillah suami bisa menngerti dan mengizinkan saya untuk menyelesaikan terlebih dahulu amanah saya di sini hingga akhir tahun ajaran. Suami pulang ke tempat tinggal sementara kami di Bogor seminggu sekali. Lucunya tempat tinggal kami hanya kami tinggali di akhir pekan karena pada saat weekday sayapun tinggal di asrama tempat saya mengajar. Tidak apalah berjauhan dulu dengan suami untuk sementara, toh dulu saja semenjak kuliah biasanya juga sendiri jauh dari keluarga. 

Dugaan saya untuk tidak merasa kenapa-kenapa ketika harus jauh dari suami ternyata salah. Keadaan ternyata berbeda ketika sudah menikah terlebih sedang dalam kondisi hamil juga. Jujur saja, saya merasa agak sedih ketika jauh dari suami dan keluarga pada masa-masa seperti ini. Akan tetapi saya harus melawan perasaan itu. Ketika ibunya sedih maka anak dalam kandungannyapun akan ikut merasakannya. Kini saya tidak lagi sendiri, dalam tubuh saya telah tumbuh satu sosok yang harus saya jaga dan perjuangkan. Dan untuk menjaganya saya harus belajar makna sebenarnya dari kata kuat.

Kuat dan berjuang adalah dua kata yang selalu beriringan. Memasuki pekan ke 5 dan 6 mual dan muntah semakin sering. Bahkan entah kenapa sayapun tak bisa makan nasi. Bukan tidak mau, tapi ketika dipaksakan makan nasi maka tidak lama kemudian akan dimuntahkan kembali. Tanpa nasi badan mulai terasa lemas, tapi saya paksakan makan apapun pengganti nasi seperti buah pisang atau roti agar nutrisi tetap terpenuhi. Saat itu yang terpikir oleh saya bukan lagi tentang tubuh saya tapi tubuh dia sosok yang Allah amanahkan yang hidup di rahim saya. 

Kurang lebih 5 hari tidak makan nasi dan lauk pauk, puncak paling parah terjadi ketika hari sabtu saya dan suami pulang ke rumah orangtua. Dari siang sampai malam saya tidak berhenti mual dan muntah. Jangankan makanan, minum saja beberapa saat kemudian langsung muntah kembali. Entah sudah berapa kali saya bolak balik kamar mandi muntah dan karena lambung sudah tak lagi menampung makanan maka yang dikeluarkan pun cairan asam yang tentu saja rasanya sangat tidak enak. Saya bersyukur karena itu terjadi ketika saya menginap di rumah orangtua. Saya merasa lebih tenang karena suami sedang pulang dan terlebih karena ada mamah. Mamah selalu menjadi ibu yang luar biasa. Akhirnya karena tubuh saya sudah tidak kuat, kami memutuskan untuk pergi ke klinik terdekat pada pukul 23.00.

Saat itu, saya merasakan tubuh saya semakin lemah dan saya sangat ingin untuk segera ke klinik terdekat agar dapat diinfus. Sebenarnya saya sangat benci dengan namanya jarum suntik. Bahkan ketika saya sakit lumayan parah sekalipun saya paling tidak mau diinfus. Tapi kali ini berbeda. Saya begitu menginginkan untuk segera diinfus. Lagi-lagi bukan tubuh saya yang saya khawatirkan saat itu, tapi saya sangat khawatir dengan dia sosok yang Allah amanahkan dalam rahim saya. Jika saya dibiarkan saja lemas tanpa ada makanan atau minuman masuk bagaimana nutrisi dia bisa terpenuhi. Itulah kenapa yang ada dalam benak saya saat itu adalah untuk segera ke klinik dan diinfus.

Kejadian muntah seperti di atas ternyata bukan yang pertama dan terakhir. Dalam trimester pertama ini Alhamdulillah saya mengalaminya beberapa kali. Sehingga dalam beberapa kali kontrol berat badan saya terus turun. Walaupun demikian, Alhamdulillah janinnya berkembang dengan baik. Itu yang paling menenangkan saya. Mual dan muntah-muntah tentunya lebih berasa berat ketika terjadinya di asrama dimana jauh dari suami dan orang-orang terdekat. Tapi sekali lagi saya tekadkan untuk melawan perasaan saya sendiri. Saya harus kuat demi dia. Dulu saya percaya tidak percaya dengan yang namanya ngidam atau keinginan aneh dari orang yang sedang hamil. Tenyata keinginan akan suatu makanan tertentu itu muncul karena memang rata-rata ibu hamil eneg akan makanan tertentu atau makanan yang biasanya. Jadilah seorang ibu hamil membayangkan sepertinya enak kalau makan ini, itu dll yang tidak ada di sekitarnya. Kurang lebih itulah yang saya rasakan ketika menginginkan makanan tertentu. Dan lucunya ketika makanan itu sudah ada, malah hanya dimakan sedikit atau bahkan hanya dicicipi karena ternyata berasa eneg juga. Dari sisi ngidam saya tidak terlalu merasakan yang aneh-aneh seperti ibu hamil lainnya. Akan tetapi saya sempat merasakan bau dan eneg dengan bumbu-bumbu masak seperti bawang dll juga suka pusing ketika ada di keramainan (kumpulan orang banyak). Maka untuk beberapa minggu saya tidak bisa memasak sendiri untuk suami. 

Di trimester pertama ini banyak sebenarnya kisah yang ingin dibagi. Ingin rasanya menulis membagi kisah dari semenjak pertama berita bahagia itu ada. Tapi apa daya, jangankan untuk menulis, untuk sekadar membuka media sosial, grup atau apapun di HP itu tidak sempat dan tidak bisa. Apa yang saya alami ini belumlah seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan seorang ibu yang seutuhnya. Sekali lagi, saya baru saja memulai jalan perjuangan ini. Baru merasakan bagaimana merasakan ada seseorang yang lebih saya sayangi, cintai dan jaga daripada diri saya sendiri. Maka pantas saja jika dikatakan surga itu berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Maka pantas saja ketika ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang harus dihormati, Beliau SAW menjawab ibumu sebanyak tiga kali baru kemudian ayahmu.

Di hari ibu ini, saya, kamu dan kita semua baik yang telah menjadi orangtua ataupun yang mau menjadi orangtua haruslah selalu mengingat bahwa perjuangan ibu kita untuk membesarkan kita dari mulai segumpal darah hingga saat ini begitu berat. Bukan jalan yang mudah, tapi dengan senyuman bahagia ibu kita menjalaninya. Perjuangan yang bahkan mempertaruhkan nyawanya, tapi ibu kita rela melakukannya dengan penuh keikhlasan. Kenapa perjuangan berat itu bisa dilakukan oleh seorang ibu yang bahkan kalau kita lihat fisiknya tidaklah sekokoh ayah. Itu semua bisa seorang ibu lakukan karena ia memiliki hati yang begitu kuat. Hati yang Allah titipkan agar kelak seorang anak bisa mengenal penciptaNya melalui cinta, kasih sayang dan didikan seorang ibu sebagai madrasah pertamanya.

Awal perjalanan ini semakin menyadarkan saya akan luar biasanya sosok mamah. Bahkan hingga saat ini saya masih saja menyusahkan, merepotkannya. Begini juga mungkin yang dialaminya dulu ketika awal memasuki perjuangan panjang sebagai seorang ibu. Bahkan tentu lebih berat yang ia rasakan karena ketika itu sudah tak ada lagi seorang ibu tempatnya untuk berbagi keluh kesah, menenangkan dan menguatkan seperti yang ia lakukan untuk saya. Di balik tubuhnya yang tidak lebih besar dari saya itu, tersimpan kekuatan yang begitu besar. Tak ada yang bisa membalas apa yang telah dilakukannya sebagai seorang ibu. Apapun itu, materi sebanyak apapun itu tidak akan pernah sebanding. Terimakasih mamah.. 

Selamat hari ibu untuk seluruh ibu.. Juga untuk sosok ibu-ibu lain yang telah hadir menginspirasi dalam hidup saya. Semoga selalu adalah dalam keridhoan dan keberkahanNya..
I do Love you..
Bogor, 20122016
11pm

Senin, 26 September 2016

Jawaban


Masa depan adalah sebuah misteri. Bahkan satu detik kedepan saja kita tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Termasuk masalah jodoh. Dalam hidup saya, misteri siapa jodoh saya adalah hal yang paling membuat saya penasaran dan excited. Siapakah dia yang kelak akan membersamai saya dalam langkah ini? Pertanyaan yang hanya bisa saya jawab dengan terus berusaha memperbaiki diri dan berdo’a untuk diberikan yang terbaik.
Saya termasuk orang yang tidak setuju bahwa berpacaran adalah salahsatu bentuk usaha (ikhtiar) untuk mendapatkan jodoh dan lebih mengenal pasangan kita kelak. Alasannya? Ah, rasanya terlalu banyak alasan yang bisa diungkapkan untuk itu. Untuk saat ini saya tidak akan membahas itu.
Seperti apa suami saya kelak? Apakah dia orang yang benar-benar saya kenal? Atau teman ketika sekolah dulu? Teman kuliah? Teman satu organisasi? Itulah serentetan pertanyaan yang dulu muncul dalam pikiran dan tentu saja saya selalu menanti jawabannya. Ahad, 18 September 2016 akhirnya pertanyaan-pertanyaan saya tentang dia terjawab sudah. Ketika janji sakral itu terucap, maka benarlah bahwa dia adalah jawaban atas segala do’a saya selama ini. Dialah jodoh saya. Seseorang yang akan membersamai langkah saya. Seseorang yang menjadi imam saya. Dan seseorang yang akan menjadi teman hidup saya selamanya.
Ternyata dia adalah teman saya ketika SMP dulu. Saya mengenalnya untuk pertama kali ketika kami duduk di kelas 8 SMP. Dengan berakhirnya masa SMP, maka berakhir pula komunikasi di antara kami. Kami sekolah di SMA yang berbeda. Saya dan dia sibuk dengan kehidupan masing-masing. Mengejar cita-cita diri kami masing-masing.
Delapan tahun berlalu setelah masa SMP berakhir. Cita-cita saya mulai terwujud saatu per satu. Saya lulus kuliah dan menjadi seorang guru matematika. Dia mulai membuka kembali komunikasi di antara kami. Dan ternyata komunikasinya berakhir pada permintaan dia untuk berta’aruf (berkenalan) menuju tahapan lebih serius (pernikahan). Saya pelajari mengenai dia yang sekarang melalui apa-apa yang disampaikannya.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan proses ini. Kenapa prosesnya cukup panjang? Waktu itu saya masih berpikiran bahwa saya belum siap untuk menikah dalam waktu dekat dan masih ada cita-cita yang ingin saya wujudkan yang menurut pandangan saya ketika itu, cita-cita tersebut tidak dapat diwujudkan jika saya sudah menikah. Istikhoroh dan tentunya do’a restu orangtua lah yang membantu saya menemukan jawaban pada akhirnya. Setiap petunjuk yang diberikan semakin membuat saya yakin untuk melangkah menuju pernikahan ini. Kami ditemani mahram kami masing-masing bertemu untuk berta’aruf langsung. Kemudian kami memutuskan untuk melanjutkan prosesnya. Lalu dia pun mendatangi kedua orangtua saya. Sampai pada akhirnya dia mengkhitbah saya pada 11 Juli 2016.
Lalu bagaimana saya bisa yakin bahwa dia adalah orangnya (Mr Right)? Dulu saya pun sempat berpikiran bahwa saya akan sulit menemukan pasangan yang cocok dengan saya. Bukan karena saya menginginkan pasangan yang ideal / sempurna tapi lebih karena saya yang merasa sulit untuk menemukan seseorang yang sejalan dengan saya yang bisa menerima saya yang sedikit perfectionist, keras kepala, introvert dan segala karakter lainnya yang ada pada diri saya.
Akan tetapi, pada dirinya saya merasa yakin bahwa dia mau menerima dan menyayangi saya seutuhnya. Pada dirinya saya merasa yakin bahwa kami memiliki tujuan yang sama dalam berlayar di kehidupan ini. Pada dirinya saya merasa yakin bahwa dia bisa memimpin saya menjadi sosok yang lebih baik lagi. Dan pada dirinya saya merasa yakin karena dia adalah seseorang yang orangtua saya ridhoi sebagai orang yang akan mengambil alih tanggungjawab atas saya semenjak ijab qobul terucap hingga selamanya.
Ini adalah lembaran awal dari kisah kami, saya dan dia. Kami yang ditakdirkan berjodoh oleh Nya. Kami yang bersama bukan karena kami sempurna. Tapi justru dari ketidaksempurnaan yang kami miliki itu lah kami berusaha untuk saling memperbaiki dan melengkapi. Satu yang sangat kami inginkan adalah keridhoan dan keberkahanNya dalam kehidupan kami sehingga kami dapat digolongkan sebagai orang yang saling mencintai karenaNya yang kelak akan dikumpulkan kembali di surgaNya.
09.30pm

26092016

Selasa, 21 Juni 2016

Hadiah Terbaik Itu



Setelah 11 bulan berjuang, maka di bulan inilah kita diberikan jamuan, pelatihan dan amunisi agar kita dapat melanjutkan perjuangan di 11 bulan berikutnya Bulan spesial ini selalu datang sebagai pelepas dahaga. Begitu pun dengan ramadhan kali ini. Ramadhan untuk pertama kalinya saya jalani di lingkungan sekolah tempat dimana saya mengajar. Kegiatannya tidak jauh berbeda sebenarnya. Hanya saja ada salahhsatu program yang dikhususkan untuk bulan ramadhan ini. Yaitu tasmi Al Quran 30 juz dalam waktu 2 hari. Tasmi ini dilaksanakan di masing-masing Masjid putra dan putri oleh seorang hafidz dan hafidzah.

Bagi saya, ini adalah salahsatu pengalaman luar biasa. Menyaksikan bagaimana seorang hafidzah mentasmikan hafalannya sebanyak 30 juz dalam 2 hari. Dari awal saya mengajar di sini, program tahfidz untuk siswa/siswi di sini adalah program yang membuat saya kagum. Betapa beruntungnya mereka yang sejak dini telah menghafal Al Quran.  Rasa optimis selalu menyeruak kala membayangkan bahwa kelak Bangsa ini akan diisi oleh mereka, generasi para penghafal dan pengamal Al Quran.

Rasa iri pun tidak bisa saya tahan, setiap kali melihat seorang hafidz/hafidzah. Bagaimana tidak, mereka mampu menghafal Al Quran 30 juz dan mempersembahkan hadiah terbaik untuk kedua orangtuanya di surga nanti. Kebahagiaan yang luar biasa ketika seorang anak dapat memberikan hadiah terbaik itu untuk kedua orangtuanya sebagai salasatu tanda bakti. Itu lah alasan mengapa rasa iri saya tak dapat saya tahan.

Saya sadar, saya tidak boleh hanya terhenti pada rasa iri itu. Tapi saya harus bergerak bagaimana agar saya pun dapat memberikan hadiah terbaik itu untuk kedua orangtua saya kelak. Sempat terlintas dalam pikiran saya, bagaimana jika saya meninggal sebelum saya dapat menghafalkan 30 juz Al Quran? Pertanyaan dalam benak saya itu pun terjawab ketika seorang ustadz menjelaskan bahwa Allah itu melihat bagaimana proses kita. Bahkan rasa pesimis dari banyak orang yang mengatakan sulit untuk bisa menghafal Al Quran dengan berbagai alasan seperti waktu yang sedikit karena kesibukan, usia yang sudah tua sehingga susah ingat dan cepat lupa, atau alasan lainnya juga terjawab dengan penjelasan tadi. Kemampuan dan kondisi setiap orang berbeda-beda. Maka yang terpenting adalah jangan pernah berhenti berusaha dan kuatkan tekad. Allah maha menyaksikan setiap ikhtiar hambaNya.

Ramadahan adalah bulan Al Quran. Maka ini merupakan momen yang tepat untuk melatih kita agar senantiasa dekat dengan Al Quran. Selama napas masih membersamai, maka tidak ada kata berhenti untuk mempelajari ilmuNya. Dalam Al Quran lah terdapat petunjuk, pembeda yang haq & bathil, penyembuh, serta pedoman agar kita sampai pada tujuan kita. Karena tujuan kita bukanlah dunia ini. Dunia ini adalah tempat persinggahan sementara serta tempat kita beramal sebelum kita berpulang ke alam yang abadi yaitu akhirat. Tidak ada kata terlambat bagi orang yang mau memperbaiki diri. Yang penting adalah bagaimana kita menggunakan kesempatan yang masih ada untuk menjadi lebih baik. Kata kuncinya adalah mulailah dari sekarang.

Al Quran yang tersimpan rapi di sudut lemari itu senantiasa menunggu. Ia tidak ingin hanya dijadikan sebagai pajangan lemari atau sekadar koleksi perpustakaan mini di rumah. Ia lebih bahagia jika ia lecek atau bahkan covernya beberapa kali diperbaiki setelah terlepas karena seringnya ia dibaca. Maka mulailah membacanya, mentadaburinya, menghafalnya, mempelajarinya dan yang paling utama adalah jangan lupa untuk mengamalkannya.

14062016   

  
  

Kamis, 31 Maret 2016

Catatan Guru 2

Tidak terasa hampir sembilan bulan saya mengajar di sini. Minggu depan (4 April 2016) siswa kelas XII akan melaksanakan Ujian Nasional. Ya, ujian yang akan mengukur dan mengevaluasi hasil belajar siswa selama tiga tahun. Ujian Nasional yang sistemnya masih banyak diperdebatkan dan dipertanyakan pada akhirnya selalu dilaksanakan setiap tahunnya. Dari dulu, bahkan mungkin dari pertama kali Ujian Nasional itu diselenggarakan ada satu hal yang menjadi ujian sebenarnya, yaitu ujian kejujuran. Jangan sampai hasil belajar selama tiga tahun itu diakhiri dengan ketidakjujuran.

Kembali ke masa selama sembilan bulan saya berada di sekolah ini. Tentu banyak warna dalam sembilan bulan ini. Saya yang mulanya asing dengan kehidupan boarding school, kini mulai terbiasa dengan segala rutinitasnya yang khas. Saya yang mulanya tak terbiasa mengajar di kelas homogen (dipisah putra – putri), kini mulai nyaman dengan kondisi tersebut (termasuk mengajar di kelas yang hanya dihuni laki-laki). 

Banyak hal baru yang saya pelajari di sini. Saya yang minim pengalaman ini banyak belajar dari rekan sesama guru, teman satu asrama, seluruh civitas sekolah yang terlibat bahkan saya pun banyak belajar dari siswa. Menurut saya, bukan hal yang mudah untuk dapat membiasakan diri tinggal di boarding school di usia remaja seperti mereka. Jauh dari keluarga, peraturan yang ketat, jadwal belajar dan kegiatan kepesantrenan yang padat adalah beberapa hal yang tentunya perlu perjuangan dalam menjalaninya. Semua itu dilakukan untuk menempa mereka agar mereka kelak menjadi pribadi yang lebih baik.  
  
Sembilan bulan ini tentu saja tak selalu berjalan mulus. Terkadang rasa kesal /bad mood menemani. Marah/ kecewa juga pernah hadir. Akan tetapi semua itu tertutup oleh rasa bahagia yang saya rasakan ketika menyaksikan siswa yang rajin berusaha, jujur ketika ulangan, kemampuannya dalam matematika mmengalami kemajuan dan masih banyak hal lainnya. Ada kepuasan batin tersendiri ketika siswa mau berusaha sebaik-baiknya dan pada akhirnya dia menjadi bisa. Sekecil apa pun kemajuan itu, itu menjadi sangat berarti ketika memperolehnya dengan usaha yang benar. 

Rasanya saya masih jauh dari kata pantas untuk disebut sebagai seorang guru. Semakin saya menjalaninya, maka saya pun semakin sadar bahwa amanah dari seorang guru itu cukup berat. Siswa tipe A, B, C, …, siswa yang beragam karakternya itu  semuanya harus guru didik agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Sabar sepertinya menjadi salahsatu teman terbaik dari seorang guru. Ketika seorang siswa berbuat salah, maka ingatkan mereka dengan didasari rasa kasihsayang. Tegas tak selalu identik dengan marah.  

Karena saya lebih banyak mengajar di kelas XII, maka pekan ini adalah pekan terakhir belajar bersama mereka. Saya awalnya asing sekali dengan mereka (bahkan untuk menghapal nama mereka saja saya mengalami kesulitan). Setelah beberapa bulan, akhirnya saya mulai hapal nama dan mengenal karakter mereka. Tipe humoris yang pencair suasana, tipe serius yang selalu fokus , tipe santai yang kalau lagi belajar saking santainya dia tidur di kelas, tipe kalem yang tak banyak bicara tapi langsung action, tipe banyak bicara yang rajin bertanya (apapun itu ditanyakan) dan masih banyak lagi.   

Tidak lama lagi mereka akan melepas seragam putih abu nya untuk melanjutkan jalan menuju cita-cita dan mimpi mereka. Mereka akan menjalani fase kehidupan berikutnya yaitu hidup di lingkungan baru dengan tak lagi menyandang gelar sebagai siswa. Lingkungan dimana mereka tak lagi berada di sekolah, tapi mereka telah dilepas untuk berada di tengah masyarakat. Semoga mereka dapat mewujudkan cita-cita dan mimpinya serta semoga mereka selalu berada di jalanNya sesulit apapun itu, sebesar apapun rintangannya nanti di mana pun mereka berada.
10 pm
29032016

Sabtu, 30 Januari 2016

Jalan Lurus Tak Berarti Mulus


Hidup ini adalah pilihan. Tentu saja itu semua bukan sekedar kata-kata. Pada kenyataannya bahwa dalam menjalani kehidupan ini kita selalu dihadapkan pada berbagai pilihan. Putih atau hitam, benar atau salah, tak ada abu-abu atau diantara yang benar dan salah. Sebagai manusia, kita dibekali akal dan hati untuk dapat menentukan pilihan yang benar. Selain itu, Allah yang menciptakan kita pun membekali kita dengan buku pedoman, ilmu serta contoh teladan manusia yang telah menjalani kehidupan ini dengan memilih jalan yang lurus. Berbekal itu semua, tinggallah kita yang menentukan tujuan apa yang ingin kita capai dalam kehidupan ini dan jalan mana yang kita pilih.

Salahsatunya adalah pilihan jujur atau tidak jujur. Kita lah yang memilih. Setiap pilihan pasti memiliki konsekuensinya masing-masing. Mulai dari hal kejujuran. Sesuai fitrahnya, setiap manusia pasti menginginkan kejujuran dan menyukai kejujuran. Akan tetapi itu nukan berarti bahwa setiap manusia memilih jalan jujur. Bahkan, dari beberapa kejadian yang saya amati, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak orang yang menyukai kejujuran, mengiyakan bahwa jujur itu benar tetapi sedikit orang yang setia dengan kejujuran. Ada satu hal yang ingin saya tekankan kembali, jujur itu bukan polos / (lugu) / mengatakan semuanya tanpa saringan bahkan mengatakan apa yang tak penting atau yang tak seharusnya dikatakan.

  Jika kita memilih jujur, maka sekali lagi bersiaplah pula dengan konsekuensinya. Buah dari kejujuran tak selalu langsung terasa manis. Pada awalnya mungkin terasa asam atau bahkan pahit. Salah satu contoh riil saat ini adalah untuk naik jabatan di sebuah instansi misalnya sudah jadi rahasia umum jika harus ada uang pelicin. Persyaratan yang tertera dalam peraturan hanyalah sebagai hiasan indah yang tak lagi diindahkan. Sederet persyaratan tersebut kadang menjadi tak berarti jika kita penuhi tanpa adanya “si pelicin”. Dan sebaliknya, sederet persyaratan tersebut dengan ajaib akan langsung terpenuhi jika “si pelicin” hadir. Kabar bahagianya adalah dalam kondisi yang seperti itu tak sedikit pula yang masih setia dengan kejujuran.

Contoh riil berikutnya adalah ujian kejujuran bagi seorang siswa. Sebagai siswa, jika kita memilih jujur dalan Ujian Nasional maka kenyataannya tak selalu “si jujur” itu menjadi siswa peraih nilai terbaik. Ada kalanya “si jujur” harus menyaksikan temannya yang mendapatkan contekan (menyontek) naik panggung memegang tropi sebagai peraih nilai terbaik Ujian Nasional di sekolahnya. Awalnya mungkin terasa pahit bagi “si jujur”. Tapi rasa manis yang dirasakan temannya yang menyontek itu pun hanyalah sementara. Rasa manis itu akan berbalik menjadi pahit bak pemanis buatan karena hati nurani tak pernah bisa dibohongi.   

Anehnya lagi “si jujur” sering pula disebut bodoh atau pun munafik. Padahal jelas sekali jauh berbeda antara jujur dan bodoh atupun jujur dan munafik. Jika setiap yang benar dan baik itu dikatakan munafik, lantas disebut apa orang yang merampas hak orang lain, membunuh, memperkosa, korupsi dsb. Yang munafik  itu bukanlah “si jujur” ataupun kebaikan. Munafik itu justru adalah ketika suatu kebaikan dilakukan dengan kepura-puraan / ketidakjujuran (kepalsuan). Misal berpura-pura peduli, berpura-pura jujur, dan kepura-puraan serta kepalsuan lainnya. Itu lah mengapa dalam beramal / melakukan sesuatu salahsatu hal yang harus selalu dijaga adalah niat yang ikhlas.  

 Hanya dari satu buah pilihan jujur atau tidak jujur saja sudah banyak hal yang harus kita lewati sebagai ujian ketika memilih jalan jujur. Belum lagi dengan pilihan-pilihan lainnya. Ketika kita memilih kebenaran (jalan lurus) maka tak berarti jalan itu akan mulus tanpa rintangan. Ada kalanya, harus tertusuk duri, tertatih-tatih, atau bahkan sampai jatuh. Manusia yang menjadi suri tauladan bagi kita bahkan kehidupannya penuh dengan ujian yang lebih berat dari apa yang kita alami saat ini. Akan tetapi ujian itu Beliau nikmati hingga yang Beliau rasakan dari setiap ujian tersebut justru adalah rasa manis. Itu semua karena beliau tahu apa yang menjadi tujuan dalam kehidupan ini dan tahu jalan mana yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan tersebut

“Tulisan ini juga sebagai bahan refleksi dan pengingat bagi diri saya sendiri”

Bogor, 30012016 10.45 pm