Kamis, 05 September 2013

Catatan 05092013



Tiga tahun sudah saya harus hidup terpisah dengan keluarga. Amanah menuntut ilmu yang mengharuskan diri ini melewatkan begitu banyak momen bersama keluarga. Tapi itu bukanlah suatu hal yang harus disesali. Kepergian untuk menuntut ilmuNya yang begitu direstui keluarga serta lingkungan baru yang begitu nyaman. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. Hanya syukur yang begitu dalam yang saya rasakan atas semua nikmat itu.
Tiga tahun bukanlah waktu yang sedikit. Tapi tiga tahun itu tak membuat rasa rindu berkurang sedikitpun. Suaranya terdengar begitu lembut, seperti biasanya menyapa dengan penuh kasih sayang. Walau hanya mendengar suaranya, tapi mencurahkan segala isi hati padanya selalu membuat saya tenang. Berbicara dari hati ke hati, diselingi canda tawa dan diskusi cukup berhasil mengobati kerinduan yang sama sekali tak pernah berubah.
Ikatan itu memang telah Dia titipkan untuk selalu mengikat kami, ayah, ibu dan 2 saudari saya. Ibu, kerinduan yang dirasakan ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kerinduanmu pada putrimu ini. Teringat dengan jelas tiga tahun silam, suaramu di telpon  terdengar begitu rapuh bahkan kau tak sanggup menahan tangis hingga kita berdua beradu tangisan di telpon. Seiring bertambah tegar dan kuatnya diri ini, maka ketegaran dan kekuatan itu pula lah yang kau tunjukkan. Walau begitu, ketegaranmu itu masih memancarkan kerinduan yang sama. Tak berkurang sedikitpun.  Setiap kali saya berangkat dari rumah, pelukan hangatmu masih sama. Pelukan yang begitu berat membiarkan pergi.
Ayah, walau tak banyak kata yang kau ungkapkan, tak ada tangisan yang kau tunjukkan, saya tahu kerinduanmu pun sama dalamnya dan tak pernah berubah. Ya, pendampingmu yang luar biasa itu menjadi jembatan yang menyampaikan perasaan dan ekspresimu untuk putrimu ini. Tiga tahun silam, ibu bercerita tentang tangismu dan khawatirmu untuk putrimu ini.  Menjemput ke terminal ketika pulang dan mengantar sampai terminal ketika pergi. Itu semua rutin kau lakukan untuk putrimu ini. Masih pendampingmu yang setia itu yang bercerita. Ketika kau selalu memandangi bis yang mengantar pergi sampai bis itu hilang dari pandanganmu disertai rasa berat melepas kepergian.   
Bagaimana bisa rasa rindu ini berkurang jika kalian (ibu dan ayah) selalu menghujani diri ini dengan kasih sayang ikhlas. Bahkan beribu tahun pun, rasa rindu ini tak akan pernah berkurang untukmu. Teringat ketika ibu bercerita mengenai ‘hal itu’. Suatu hal yang membuat saya bingung harus berekspresi seperti apa ketika kalian menyinggungnya. Menyinggungnya lewat candaan atau nasihat yang serius. Bukan karena saya tidak memikirkan ‘hal itu’. Ketika menghadiri pernikahan saudara sepupu yang tak bisa saya hadiri, kalian bercerita tentang tangis haru yang terjadi. Tangis haru kalian yang terjadi ketika ijab qabul itu. Ibu, kau sampaikan tangis itu karena kalian teringat pada putrimu ini yang tentu saja akan mengalami hal yang sama.
Ah, ibu, ayah, baru membayangkannya saja kalian sudah meneteskan airmata. Bagaimana ketika sampai pada waktunya nanti. Ibu, ayah, kalian selalu menjaga putrimu ini. Tanpa mengikuti kontes putri yang ada pun, saya telah menjadi seorang putri yang begitu berharga untuk kalian. Menyasikan begitu berharganya diri ini untuk kalian, rasanya kekuatan untuk menjaga izzah dan iffah semakin bertambah. Semoga Dia yang maha memiliki diri ini, selalu memberi bimbingan dan petunjuk.  Aamiin
Bandung, 23.00 pm