Tiga
tahun sudah saya harus hidup terpisah dengan keluarga. Amanah menuntut ilmu
yang mengharuskan diri ini melewatkan begitu banyak momen bersama keluarga.
Tapi itu bukanlah suatu hal yang harus disesali. Kepergian untuk menuntut ilmuNya
yang begitu direstui keluarga serta lingkungan baru yang begitu nyaman. “Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. Hanya syukur yang begitu
dalam yang saya rasakan atas semua nikmat itu.
Tiga
tahun bukanlah waktu yang sedikit. Tapi tiga tahun itu tak membuat rasa rindu
berkurang sedikitpun. Suaranya terdengar begitu lembut, seperti biasanya
menyapa dengan penuh kasih sayang. Walau hanya mendengar suaranya, tapi
mencurahkan segala isi hati padanya selalu membuat saya tenang. Berbicara dari
hati ke hati, diselingi canda tawa dan diskusi cukup berhasil mengobati
kerinduan yang sama sekali tak pernah berubah.
Ikatan
itu memang telah Dia titipkan untuk selalu mengikat kami, ayah, ibu dan 2
saudari saya. Ibu, kerinduan yang dirasakan ini tidaklah seberapa jika
dibandingkan dengan kerinduanmu pada putrimu ini. Teringat dengan jelas tiga
tahun silam, suaramu di telpon terdengar
begitu rapuh bahkan kau tak sanggup menahan tangis hingga kita berdua beradu
tangisan di telpon. Seiring bertambah tegar dan kuatnya diri ini, maka
ketegaran dan kekuatan itu pula lah yang kau tunjukkan. Walau begitu,
ketegaranmu itu masih memancarkan kerinduan yang sama. Tak berkurang
sedikitpun. Setiap kali saya berangkat
dari rumah, pelukan hangatmu masih sama. Pelukan yang begitu berat membiarkan
pergi.
Ayah,
walau tak banyak kata yang kau ungkapkan, tak ada tangisan yang kau tunjukkan,
saya tahu kerinduanmu pun sama dalamnya dan tak pernah berubah. Ya,
pendampingmu yang luar biasa itu menjadi jembatan yang menyampaikan perasaan
dan ekspresimu untuk putrimu ini. Tiga tahun silam, ibu bercerita tentang
tangismu dan khawatirmu untuk putrimu ini. Menjemput ke terminal ketika pulang dan
mengantar sampai terminal ketika pergi. Itu semua rutin kau lakukan untuk
putrimu ini. Masih pendampingmu yang setia itu yang bercerita. Ketika kau
selalu memandangi bis yang mengantar pergi sampai bis itu hilang dari
pandanganmu disertai rasa berat melepas kepergian.
Bagaimana
bisa rasa rindu ini berkurang jika kalian (ibu dan ayah) selalu menghujani diri
ini dengan kasih sayang ikhlas. Bahkan beribu tahun pun, rasa rindu ini tak
akan pernah berkurang untukmu. Teringat ketika ibu bercerita mengenai ‘hal
itu’. Suatu hal yang membuat saya bingung harus berekspresi seperti apa ketika
kalian menyinggungnya. Menyinggungnya lewat candaan atau nasihat yang serius.
Bukan karena saya tidak memikirkan ‘hal itu’. Ketika menghadiri pernikahan
saudara sepupu yang tak bisa saya hadiri, kalian bercerita tentang tangis haru
yang terjadi. Tangis haru kalian yang terjadi ketika ijab qabul itu. Ibu, kau
sampaikan tangis itu karena kalian teringat pada putrimu ini yang tentu saja
akan mengalami hal yang sama.
Ah,
ibu, ayah, baru membayangkannya saja kalian sudah meneteskan airmata. Bagaimana
ketika sampai pada waktunya nanti. Ibu, ayah, kalian selalu menjaga putrimu
ini. Tanpa mengikuti kontes putri yang ada pun, saya telah menjadi seorang putri
yang begitu berharga untuk kalian. Menyasikan begitu berharganya diri ini untuk
kalian, rasanya kekuatan untuk menjaga
izzah dan iffah semakin
bertambah. Semoga Dia yang maha memiliki diri ini, selalu memberi bimbingan dan
petunjuk. Aamiin
Bandung, 23.00 pm