Rabu, 10 Maret 2021

Berjarak Dengan Yang Terdekat (kisah penyintas covid-19)


Kisah ini berawal pada hari Kamis 18 Februari 2021. Suami saya mengabari melalui pesan singkat bahwa ia sedang swab test di kantornya. Semua karyawan kantor wajib swab test karena ada salah satu karyawan yang sakit beberapa hari terakhir dan hasil swabnya positif covid-19. Saya selalu ‘dag dig dug’ tiap kali suami swab test baik itu jadwal rutinan dari kantor atau karena kebutuhan untuk dinas luar kota. Saat itu saya balas WA suami dengan do’a dan support pikiran positif bahwa insyaAllah hasil nya negatif. Suami saya pulang telat karena ia menunggu hasilnya keluar terlebih dahulu. Dan hasil swab pun keluar setelah saya sholat Isya. Alhamdulillah hasilnya negatif.

Pulang kerja seperti biasa suami selalu membersihkan diri terlebih dahulu sebelum kontak dengan saya dan anak-anak. Setelah bersih-bersih dan makan, seperti biasa suami bermain bersama anak-anak sembari kami ngobrol ringan. “Abi, yang positif memang pernah kontak sama abi? Teman satu ruangan?” tanya saya mengawali obrolan. “Bukan satu ruangan sih. Tapi dia orangnya suka kemana-mana. Maksudnya banyak berinteraksi dengan orang dan beberapa kali abi lihat dia tidak pakai masker di ruang kerja,” ungkap suami. Saya sedikit kaget. “Ko bisa ga pakai masker. Emang ga ditegur? Kan ada aturannya harus pake masker.” “ Aturan ya ada. Kadang suka dikontrol juga beberapa kali ke setiap ruangan. Tapi pas tidak ada yang kontrol ya beberapa orang buka masker,” jelas suami. “Hmm, iya sih susah juga. Yang penting kita aja dulu ya yang disiplin. Yang penting abi sebisa mungkin di kantor jaga prokes dengan baik ya.” Saya sedikit mengingatkan suami. “Iya, insyaAllah,” suami menutup obrolan kami malam itu.

Hari Jumat kami melakukan rutinitas seperti biasa. Suami pergi ke kantor dan saya pergi ke sekolah. Suami saya bekerja di perusahaan konsultan engineering. Perusahaannya telah menerapkan aturan prokes yang cukup ketat bahkan sempat full WFH (Work From Home) ketika awal diberlakukan PSBB. Seiring berjalannya waktu, akhirnya perusahaan pun mengadakan WFO (Work From Office) dan WFH  (Work From Home) bergantian. Sedangkan saya adalah seorang guru Matematika. Sejak awal pandemi saya mengajar dari rumah secara daring. Saya sempat full WFH juga. Sampai akhirnya, guru-guru mengadakan pembelajaran online tapi dari sekolah. Siswa tetap di rumah, sedangkan guru-guru ke sekolah untuk membuat video pembelajaran, mengerjakan administrasi juga mengadakan pembelajaran secara daring.

Sejak pandemi covid-19,  saya dan suami sangat berhati-hati karena kami memiliki dua anak balita di rumah. Anak pertama kami (Azalea) berusia 3 tahun 8 bulan dan anak kedua kami (Asqiyyah) masih berusia 10 bulan. Kami memahami betul bahwa anak-anak termasuk yang beresiko di masa pandemi ini. Terutama bagi Asqi anak kedua kami yang masuh berusia 10 bulan yang belum lengkap imunisasinya sehingga dikhawatirkan daya tahan tubuhnya belum kuat. Asqi adalah bayi yang lahir  di masa awal lock down diberlakukan di Indonesia. Berbeda dengan kakaknya yang pada usia 10 bulan ia sudah diajak berpetualang ke berbagai tempat mulai dari wisata alam sampai mall, Asqi sampai saat ini belum tahu yang namanya mall itu seperti apa. Hehe..

Sabtu pagi setelah sepedaan dengan si sulung suami mengeluh kurang enak badan. ‘’Mi, badan ko agak gak enak ya. Pas jalan kaya gimana gitu kaki rasanya. Terus kepala pusing. Kenapa ya?” tanya suami. “Paling masuk angin Bi. Nanti minum paracetamol terus tidur,” jawab saya santai. “Iya. Tapi ko agak beda ya Mi. Ini rasanya kaya dulu waktu Abi kena typus  pas SD,” suami menjelaskan. “Jangan ngomong kaya gitu ah. Engga, itu paling pusing biasa. Setelah minum obat dan tidur pusingnya hilang,” jawab saya. Akhirnya suami memutuskan untuk mengikuti saran saya. Minum obat dan beristirahat.

Senin 22 Februari 2021 suami libur kerja karena kantor menutup kantor untuk dilakukan penyemprotan desinfektan. Tidak seperti biasanya suami masih mengeluhkan pusing padahal ia sudah minum obat dan beristirahat. Minggu malam badannya sedikit demam dengan suhu 37,5 derajat celcius. Saya mulai khawatir dan menyarankannya untuk pergi berobat ke dokter. Sejak merasa tidak enak badan, suami mulai menjaga jarak dengan anak-anak dan memilih tidur sendirian di kamar depan. Karena kondisi yang tidak kunjung membaik, akhirnya suami memutuskan untuk pergi berobat pada hari Selasa sekalian pergi WFO. Hasil diagnosa dokter, suami sakit radang tenggorokan.

Setelah minum obat  dari dokter Alhamdulillah suami semakin membaik kondisinya. Ia sudah tidak merasakan pusing juga demam. Rabu malam suami mengeluh penciumannya berkurang. “Mi, kecium ga bau kopi pengharum ruangan?” tanya suami. “Kecium Bi. Ini kan baru diganti jadi isinya masih lumayan banyak.” jelas saya. “Ko Abi ga bisa nyium baunya ya” ungkap suami. “Masa sih? Coba cium ini kayu putih.” Saya menyodorkan kayu putih. “Hmm.. Kalau ini kecium sih ada menyengat gitu tapi ga jelas kaya biasanya,” jelas suami. Saya terdiam sejenak kemudian berusaha menepis pikiran negative yang mulai muncul. “Ah biasanya. Kan Abi radang, mungkin mau flu juga jadi penciuman terganggu gitu kan. Kan suka mampet gitu hidung,” tepis saya mengakhiri obrolan malam itu.

Hari Kamis pagi saya mulai merasa tidak enak badan. Tenggorokan mulai sakit, badan pegal-pegal dan sakit kepala luar biasa sampai saya tidak kuat bangun dari tempat tidur. Akhirnya saya minum paracetamol dan istirahat. Ketika itu saya berpikir bahwa saya juga kena radang tenggorokan dan mau flu seperti suami.  Kamis malam  saya mengeluh pada suami karena badan semakin terasa sakit. Badan sedikit demam dan mulai ada batuk kering ringan. “Bi, besok anter berobat ya. Ini kayanya mau batuk dan flu. Ga enak banget.” Saya berusaha menjelaskan kepada suami. “Iya, besok berobat ya. Ijin aja besok ga usah ke sekolah dulu. Yang penting pembelajaran daring udah diupload kan untuk besok?” tanya suami. “Iya, Ummi udah ijin,” pungkas saya.

Hari Jumat pagi saya berobat. Sesuai dengan dugaan saya, menurut dokter saya juga terkena radang tenggorokan dan flu. Pada saat itu dokter mengingatkan saya untuk meningkatkan imunitas karena dimasa pandemi seperti ini gejala yang muncul dari covid-19 sudah  banyak dan sulit dibedakan dengan penyakit lainnya. Jumat malam suami saya mengabari bahwa ia akan pulang telat karena akan swab test lagi. Mendengar itu, saya kaget. Suami menjelaskan bahwa ia melakukan swab test lagi  atas saran dari kantor mengingat beberapa karyawan di kantor yang hasil nya negatif mengalami beberapa gejala mirip covid-19. Saya langsung terigat keluhan suami yang mulai berkurang penciumannya. Swab test kali ini benar-benar membuat saya lebih dag dig dug dari biasanya. Jumat malam suami lebih ketat lagi menjaga jarak dengan saya dan anak-anak. Ia menggunakan masker di rumah dan makan/ berkegiatan yang membutuhkan membuka masker hanya dilakukan di kamar  depan. Mengingat  saya pun sedang sakit, maka saya juga mulai menjaga jarak dengan anak-anak. Malan itu berasa begitu panjang. Saya berdo’a agar hasil swab test suami besok baik-baik saja.  Tapi di sisi lain, saya pun mulai merasa khawatir mengingat suami mengeluh bahwa indra penciumannya semakin menghilang.

Sabtu 27 Februari 2021. Menjadi hari paling kelabu bagi kami. Pagi hasil swab test suami keluar dan hasilnya ia POSITIF covid-19. Luar biasa kaget, seperti mimpi dan saya seketika nge-blank bingung harus berbuat apa. Suami berusaha menenangkan dan mengingatkan saya untuk tetap memakai masker dan menjaga jarak dengan anak-anak. Sederet pertanyaan kritis dari si sulung juga mulai bermunculan. “Ummi dan Abi kenapa pakai masker? Kan kita di rumah. Ummi kenapa Aza ga boleh makan bareng Ummi? Ummi dan Abi kenapa kalau makan di kamar depan dan di tutup kamarnya? Kenapa Aza ga boleh masuk kamar  depan? Kenapa Aza ga boleh minum pake gelas Ummi dan Abi?” Sederet pertanyaan dari si Sulung coba kami jelaskan dengan kalimat-kalimat yang sederhana yang mudah dipahaminya. Kami jelaskan pada si Sulung bahwa Ummi dan Abinya sedang sakit. Saya melakukan pekerjaan domestik sambal berusaha menenangkan diri. Suami menghubungi pak RT dan perawat yang bisa dilakukan swab test ke rumah kami. Saya dan anak-anak harus swab test mengingat kami memiliki kontak erat terlebih saya sedang mengalami gejala batuk ringan dan flu.

Sembari menunggu swab test saya dan suami mendiskusikan langkah yang akan diambil. Jika suami saya saja yang positif, maka suami berencana untuk isolasi mandiri di sebuar Rumah Sakit rujukan dari perusahaannya. Jika saya juga positif sedangkan anak-anak negatif maka ada dua pilihan. Pertama kami tetap isolasi mandiri di rumah Bersama anak-anak dengan tetap menerapkan prokes (wajib memakai masker kecuali di kamar mandi dan di ruang kamar depan). Pilihan kedua adalah menitipkan anak-anak ke orangtua saya di kampung.  Pukul 13.00 perawat datang. Saya dan anak-anak melakukan swab test. Setelah menunggu, hasilnya pun keluar.  Hasilnya saya positif sedangkan anak-anak negatif.  Kali ini  saya tidak sekaget sebelumnya. Saya sudah punya feeling akan positif hasilnya karena saya sedang mengalami gejala mirip covid-19 juga memiliki kontak yang erat dengan suami. Saya dan suami bersyukur dan sedikit merasa lega karena Alhamdulillah anak-anak hasilnya negatif. Kami pun berkonsultasi langkah apa yang harus  kami ambil. Dan petugas Kesehatan menyarankan agar anak-anak dipisahkan dari rumah dengan di titipkan pada saudara terdekat.

Ahad pagi, abah (ayah saya) dan adik saya sudah berangkat menuju rumah kami. Abah akan menjemput anak-anak. Sejak hari Sabtu, saya mulai mengajak ngobrol si Sulung. Membujuk agar ia mau tinggal sementara bersama kakek neneknya di kampung. “Teteh aza, nanti tinggal dulu sama abah sama enin dan ateu ya. Ummi dan ab ikan sakit, jadi gab oleh dekat-dekat dulu sama teteh dan de Asqi. Jadi Ummi dan Abi di sini dulu supaya sembuh dulu sakitnya. Nanti kalua sudah sembuh, kita kumpul lagi.” Saya mencoba menjelaskan. “Ga mau. Aza ma uke enin nya sama Ummi sama Abi sama de Asqi. Kenapa Ummi ga ikut? Aza mau di sini aja sama Ummi,” tolak si Sulung. Sampai hari Ahad subuh, saya masih berusaha membujuk dengan cara menjelaskan sesuai dengan bahasa yang mudah dipahaminya. Sampai akhirnya Ahad pagi teteh Aza berhasil dibujuk. Saya jelaskan bahwa jika ia tetap di sini ikut isoman maka salah satu konsekwensinya ia tidak boleh keluar rumah apalagi jalan-jalan naik motor seperti biasa.

Adik saya mengabari bahwa sebentar lagi ia sampai. Barang keperluan anak-anak telah diseprot desinfektan kemudian kami simpan di teras. Anak-anak pun telah siap. Si Sulung malah sudah tidak sabar ingin segera pergi. Karena sedari kemarin ia terus mengajak Abi nya naik motor, ingin jalan-jalan keluar rumah. Perasaaan saya mulai campur aduk. Di satu sisi saya yakin ini adalah jalan yang terbaik untuk semuanya terutama untuk kebaikan anak-anak. Tapi di sisi lain saya begitu hancur Ketika harus berjauhan dengan anak-anak. Selama ini anak-anak tidak pernah berpisah dengan saya. Sambil menunggu, saya memandangi wajah mereka satu persatu dan air mata pun sudah tak bisa saya bending lagi. Saya menangis tapi kemudian sekuat tenaga saya hapus dan tahan kembali agar anak-anak terutama si Sulung tidak melihatnya.

Abah pun sampai di rumah kami. Barang-barang anak anak yang di teras di ambil. Si Sulung langsung lari keluar rumah memeluk tantenya. Saya berikan Asqi yang masih saya gendong kepada suami saya. Kemudian suami saya berikan Asqi kepada adik saya. Saya hanya melihat di balik jendela rumah. Air mata mengalir tidak tertahan lagi. Asqi pun ikut menangis. Ia menangis sembari melihat wajah tantenya. Tidak menunggu lama, anak-anakpun akhirnya berangkat. Pergi ke kampung bersama Abah dan tantenya. Setelah anak-anak menghilang dari pandangan saya. Saya masuk kamar dan tangis saya pun pecah. Entah sudah berapa tisu yang saya pakai untuk menghapus air mata. Suami datang menghampiri saya dan berusaha menenangkan saya. “Udah nangisnya. Ini yang terbaik, terutama untuk anak-anak. Kita di sini fokus untuk sehat, Ummi harus tenang jangan sedih terus supaya anak-anak di sana juga anteng,” ungkap suami. Sembari sesegukan saya berusaha menarik nafas berusaha menghentikan tangis sambil mengiyakan apa yang dikatakan suami.

Ahad malam berlalu begitu panjang bagi saya. Adik saya dan enin (mamah saya) mengirim pesan singkat : Teteh sama aa di sana yang tenang fokus sama kesembuhan. Teteh jangan kepikiran terus anak-anak supaya anak-anak di sini anteng sehat dan baik-baik saja. Setelah shalat berjamaah Isya, saya video call anak-anak. Si Sulung Alhamdulillah anteng dan ceria. Saya tidak menyangka bahwa ia akan sekuat itu. Si kecil memang cukup rewel. Ia sulit tidur. Ia mencari saya karena ia masih ASI dan terbiasa menyusu secara langsung ketika mau tidur. Saya pun sama dengan si kecil, sulit tidur. Perasaan masih tidak karuan ditambah kondisi fisik yang semakin lemah. Selain gejala batuk dan sakit persendian, indra penciuman saya pun mulai menghilang. Badan dan nafas terasa lebih mudah lelah/capek.  Stok ASIP di kulkas dibawa semua ke kampung. Alhamdulillah aman untuk seminggu kedepan. Walaupun demikian, selama isoman saya tetap sambil pompa ASIP agar ASI saya tidak berhenti.

Keesokan harinya, Alhamdulillah mendapat kabar si kecil pun sudah mulai anteng dan tidak rewel. Hari demi hari kami lalui dengan saling menguatkan. Suami selalu hadir menenangkan saya. Saya tahu ini bukan hal mudah. Tapi saya pun yakin di balik setiap ujian pasti ada hikmah yang tidak pernah kita duga. Allah tidak akan menguji diluar kemampuan hambanya. Dan tidak terasa, ini adalah hari ke-14 kami isolasi mandiri. Kami baru saja selesai melakukan swab test dan menunggu hasilnya dua hari kemudian. Bagi saya ini pengalaman luar biasa. Empat belas hari yang mengajarkan banyak hal. Allah memberikan kami couple time. 14 hari berdua saja bersama suami. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari bicara kisah masa lalu, bercanda receh untuk saling menghibur, membicarakan masa depan, saling perang komentar  mengenai acara TV dan yang paling penting adalah kami berdua menjadi semakin kokoh dengan ujian ini. 14 hari ini pun menempa anak-anak menjadi kuat. Allah maha baik dan dalam kondisi apapun kami sadar bahwa kami harus senantiasa bersyukur. Bersyukur Allah memberikan kami Keluarga, Sahabat, Teman dan Tetangga yang luar biasa baik. Semuanya memberikan do’a  support bagi kami. Ujian ini pahit seperti obat. Tapi insyaAllah membawa kebaikan dan akan mengobati ‘penyakit’ pada diri kami.

Secara fisik mungkin kami termasuk orang yang terinfeksi dengan gejala ringan. Tapi serangan secara psikis dari covid-19 ini luar biasa saya rasakan. Bagaimana tertatih-tatihnya saya membangun pikiran positif untuk meningkatkan imun tubuh. Bagaimana susah payahnya saya melawan virus ini sembari menahan rindu yang begitu dalam. Bagi teman-teman yang masih meragukan virus ini ada atau tidak, pesan kami tetaplah jaga protokol kesehatan sebagai ikhtiar kita dalam menjaga diri juga orang lain. Jangan sampai kelalaian atau keegoisan menjadika kita sebagai penyebab penderitaan orang-orang. Bagi teman-teman yang sudah menyempurnakan ikhtiar tapi takdirNya tidak sesuai harapan kita, maka percayalah bahwa takdirNya adalah yang terbaik bagi hambaNya. Tugas kita sebatas berikhtiar dan berdo’a, sisanya adalah bertawakal menyerahkan segalanya pada Yang Maha Mengetahui.


11 Maret 2021

14.00