Sabtu, 30 Januari 2016

Jalan Lurus Tak Berarti Mulus


Hidup ini adalah pilihan. Tentu saja itu semua bukan sekedar kata-kata. Pada kenyataannya bahwa dalam menjalani kehidupan ini kita selalu dihadapkan pada berbagai pilihan. Putih atau hitam, benar atau salah, tak ada abu-abu atau diantara yang benar dan salah. Sebagai manusia, kita dibekali akal dan hati untuk dapat menentukan pilihan yang benar. Selain itu, Allah yang menciptakan kita pun membekali kita dengan buku pedoman, ilmu serta contoh teladan manusia yang telah menjalani kehidupan ini dengan memilih jalan yang lurus. Berbekal itu semua, tinggallah kita yang menentukan tujuan apa yang ingin kita capai dalam kehidupan ini dan jalan mana yang kita pilih.

Salahsatunya adalah pilihan jujur atau tidak jujur. Kita lah yang memilih. Setiap pilihan pasti memiliki konsekuensinya masing-masing. Mulai dari hal kejujuran. Sesuai fitrahnya, setiap manusia pasti menginginkan kejujuran dan menyukai kejujuran. Akan tetapi itu nukan berarti bahwa setiap manusia memilih jalan jujur. Bahkan, dari beberapa kejadian yang saya amati, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak orang yang menyukai kejujuran, mengiyakan bahwa jujur itu benar tetapi sedikit orang yang setia dengan kejujuran. Ada satu hal yang ingin saya tekankan kembali, jujur itu bukan polos / (lugu) / mengatakan semuanya tanpa saringan bahkan mengatakan apa yang tak penting atau yang tak seharusnya dikatakan.

  Jika kita memilih jujur, maka sekali lagi bersiaplah pula dengan konsekuensinya. Buah dari kejujuran tak selalu langsung terasa manis. Pada awalnya mungkin terasa asam atau bahkan pahit. Salah satu contoh riil saat ini adalah untuk naik jabatan di sebuah instansi misalnya sudah jadi rahasia umum jika harus ada uang pelicin. Persyaratan yang tertera dalam peraturan hanyalah sebagai hiasan indah yang tak lagi diindahkan. Sederet persyaratan tersebut kadang menjadi tak berarti jika kita penuhi tanpa adanya “si pelicin”. Dan sebaliknya, sederet persyaratan tersebut dengan ajaib akan langsung terpenuhi jika “si pelicin” hadir. Kabar bahagianya adalah dalam kondisi yang seperti itu tak sedikit pula yang masih setia dengan kejujuran.

Contoh riil berikutnya adalah ujian kejujuran bagi seorang siswa. Sebagai siswa, jika kita memilih jujur dalan Ujian Nasional maka kenyataannya tak selalu “si jujur” itu menjadi siswa peraih nilai terbaik. Ada kalanya “si jujur” harus menyaksikan temannya yang mendapatkan contekan (menyontek) naik panggung memegang tropi sebagai peraih nilai terbaik Ujian Nasional di sekolahnya. Awalnya mungkin terasa pahit bagi “si jujur”. Tapi rasa manis yang dirasakan temannya yang menyontek itu pun hanyalah sementara. Rasa manis itu akan berbalik menjadi pahit bak pemanis buatan karena hati nurani tak pernah bisa dibohongi.   

Anehnya lagi “si jujur” sering pula disebut bodoh atau pun munafik. Padahal jelas sekali jauh berbeda antara jujur dan bodoh atupun jujur dan munafik. Jika setiap yang benar dan baik itu dikatakan munafik, lantas disebut apa orang yang merampas hak orang lain, membunuh, memperkosa, korupsi dsb. Yang munafik  itu bukanlah “si jujur” ataupun kebaikan. Munafik itu justru adalah ketika suatu kebaikan dilakukan dengan kepura-puraan / ketidakjujuran (kepalsuan). Misal berpura-pura peduli, berpura-pura jujur, dan kepura-puraan serta kepalsuan lainnya. Itu lah mengapa dalam beramal / melakukan sesuatu salahsatu hal yang harus selalu dijaga adalah niat yang ikhlas.  

 Hanya dari satu buah pilihan jujur atau tidak jujur saja sudah banyak hal yang harus kita lewati sebagai ujian ketika memilih jalan jujur. Belum lagi dengan pilihan-pilihan lainnya. Ketika kita memilih kebenaran (jalan lurus) maka tak berarti jalan itu akan mulus tanpa rintangan. Ada kalanya, harus tertusuk duri, tertatih-tatih, atau bahkan sampai jatuh. Manusia yang menjadi suri tauladan bagi kita bahkan kehidupannya penuh dengan ujian yang lebih berat dari apa yang kita alami saat ini. Akan tetapi ujian itu Beliau nikmati hingga yang Beliau rasakan dari setiap ujian tersebut justru adalah rasa manis. Itu semua karena beliau tahu apa yang menjadi tujuan dalam kehidupan ini dan tahu jalan mana yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan tersebut

“Tulisan ini juga sebagai bahan refleksi dan pengingat bagi diri saya sendiri”

Bogor, 30012016 10.45 pm