Rabu, 10 Maret 2021

Berjarak Dengan Yang Terdekat (kisah penyintas covid-19)


Kisah ini berawal pada hari Kamis 18 Februari 2021. Suami saya mengabari melalui pesan singkat bahwa ia sedang swab test di kantornya. Semua karyawan kantor wajib swab test karena ada salah satu karyawan yang sakit beberapa hari terakhir dan hasil swabnya positif covid-19. Saya selalu ‘dag dig dug’ tiap kali suami swab test baik itu jadwal rutinan dari kantor atau karena kebutuhan untuk dinas luar kota. Saat itu saya balas WA suami dengan do’a dan support pikiran positif bahwa insyaAllah hasil nya negatif. Suami saya pulang telat karena ia menunggu hasilnya keluar terlebih dahulu. Dan hasil swab pun keluar setelah saya sholat Isya. Alhamdulillah hasilnya negatif.

Pulang kerja seperti biasa suami selalu membersihkan diri terlebih dahulu sebelum kontak dengan saya dan anak-anak. Setelah bersih-bersih dan makan, seperti biasa suami bermain bersama anak-anak sembari kami ngobrol ringan. “Abi, yang positif memang pernah kontak sama abi? Teman satu ruangan?” tanya saya mengawali obrolan. “Bukan satu ruangan sih. Tapi dia orangnya suka kemana-mana. Maksudnya banyak berinteraksi dengan orang dan beberapa kali abi lihat dia tidak pakai masker di ruang kerja,” ungkap suami. Saya sedikit kaget. “Ko bisa ga pakai masker. Emang ga ditegur? Kan ada aturannya harus pake masker.” “ Aturan ya ada. Kadang suka dikontrol juga beberapa kali ke setiap ruangan. Tapi pas tidak ada yang kontrol ya beberapa orang buka masker,” jelas suami. “Hmm, iya sih susah juga. Yang penting kita aja dulu ya yang disiplin. Yang penting abi sebisa mungkin di kantor jaga prokes dengan baik ya.” Saya sedikit mengingatkan suami. “Iya, insyaAllah,” suami menutup obrolan kami malam itu.

Hari Jumat kami melakukan rutinitas seperti biasa. Suami pergi ke kantor dan saya pergi ke sekolah. Suami saya bekerja di perusahaan konsultan engineering. Perusahaannya telah menerapkan aturan prokes yang cukup ketat bahkan sempat full WFH (Work From Home) ketika awal diberlakukan PSBB. Seiring berjalannya waktu, akhirnya perusahaan pun mengadakan WFO (Work From Office) dan WFH  (Work From Home) bergantian. Sedangkan saya adalah seorang guru Matematika. Sejak awal pandemi saya mengajar dari rumah secara daring. Saya sempat full WFH juga. Sampai akhirnya, guru-guru mengadakan pembelajaran online tapi dari sekolah. Siswa tetap di rumah, sedangkan guru-guru ke sekolah untuk membuat video pembelajaran, mengerjakan administrasi juga mengadakan pembelajaran secara daring.

Sejak pandemi covid-19,  saya dan suami sangat berhati-hati karena kami memiliki dua anak balita di rumah. Anak pertama kami (Azalea) berusia 3 tahun 8 bulan dan anak kedua kami (Asqiyyah) masih berusia 10 bulan. Kami memahami betul bahwa anak-anak termasuk yang beresiko di masa pandemi ini. Terutama bagi Asqi anak kedua kami yang masuh berusia 10 bulan yang belum lengkap imunisasinya sehingga dikhawatirkan daya tahan tubuhnya belum kuat. Asqi adalah bayi yang lahir  di masa awal lock down diberlakukan di Indonesia. Berbeda dengan kakaknya yang pada usia 10 bulan ia sudah diajak berpetualang ke berbagai tempat mulai dari wisata alam sampai mall, Asqi sampai saat ini belum tahu yang namanya mall itu seperti apa. Hehe..

Sabtu pagi setelah sepedaan dengan si sulung suami mengeluh kurang enak badan. ‘’Mi, badan ko agak gak enak ya. Pas jalan kaya gimana gitu kaki rasanya. Terus kepala pusing. Kenapa ya?” tanya suami. “Paling masuk angin Bi. Nanti minum paracetamol terus tidur,” jawab saya santai. “Iya. Tapi ko agak beda ya Mi. Ini rasanya kaya dulu waktu Abi kena typus  pas SD,” suami menjelaskan. “Jangan ngomong kaya gitu ah. Engga, itu paling pusing biasa. Setelah minum obat dan tidur pusingnya hilang,” jawab saya. Akhirnya suami memutuskan untuk mengikuti saran saya. Minum obat dan beristirahat.

Senin 22 Februari 2021 suami libur kerja karena kantor menutup kantor untuk dilakukan penyemprotan desinfektan. Tidak seperti biasanya suami masih mengeluhkan pusing padahal ia sudah minum obat dan beristirahat. Minggu malam badannya sedikit demam dengan suhu 37,5 derajat celcius. Saya mulai khawatir dan menyarankannya untuk pergi berobat ke dokter. Sejak merasa tidak enak badan, suami mulai menjaga jarak dengan anak-anak dan memilih tidur sendirian di kamar depan. Karena kondisi yang tidak kunjung membaik, akhirnya suami memutuskan untuk pergi berobat pada hari Selasa sekalian pergi WFO. Hasil diagnosa dokter, suami sakit radang tenggorokan.

Setelah minum obat  dari dokter Alhamdulillah suami semakin membaik kondisinya. Ia sudah tidak merasakan pusing juga demam. Rabu malam suami mengeluh penciumannya berkurang. “Mi, kecium ga bau kopi pengharum ruangan?” tanya suami. “Kecium Bi. Ini kan baru diganti jadi isinya masih lumayan banyak.” jelas saya. “Ko Abi ga bisa nyium baunya ya” ungkap suami. “Masa sih? Coba cium ini kayu putih.” Saya menyodorkan kayu putih. “Hmm.. Kalau ini kecium sih ada menyengat gitu tapi ga jelas kaya biasanya,” jelas suami. Saya terdiam sejenak kemudian berusaha menepis pikiran negative yang mulai muncul. “Ah biasanya. Kan Abi radang, mungkin mau flu juga jadi penciuman terganggu gitu kan. Kan suka mampet gitu hidung,” tepis saya mengakhiri obrolan malam itu.

Hari Kamis pagi saya mulai merasa tidak enak badan. Tenggorokan mulai sakit, badan pegal-pegal dan sakit kepala luar biasa sampai saya tidak kuat bangun dari tempat tidur. Akhirnya saya minum paracetamol dan istirahat. Ketika itu saya berpikir bahwa saya juga kena radang tenggorokan dan mau flu seperti suami.  Kamis malam  saya mengeluh pada suami karena badan semakin terasa sakit. Badan sedikit demam dan mulai ada batuk kering ringan. “Bi, besok anter berobat ya. Ini kayanya mau batuk dan flu. Ga enak banget.” Saya berusaha menjelaskan kepada suami. “Iya, besok berobat ya. Ijin aja besok ga usah ke sekolah dulu. Yang penting pembelajaran daring udah diupload kan untuk besok?” tanya suami. “Iya, Ummi udah ijin,” pungkas saya.

Hari Jumat pagi saya berobat. Sesuai dengan dugaan saya, menurut dokter saya juga terkena radang tenggorokan dan flu. Pada saat itu dokter mengingatkan saya untuk meningkatkan imunitas karena dimasa pandemi seperti ini gejala yang muncul dari covid-19 sudah  banyak dan sulit dibedakan dengan penyakit lainnya. Jumat malam suami saya mengabari bahwa ia akan pulang telat karena akan swab test lagi. Mendengar itu, saya kaget. Suami menjelaskan bahwa ia melakukan swab test lagi  atas saran dari kantor mengingat beberapa karyawan di kantor yang hasil nya negatif mengalami beberapa gejala mirip covid-19. Saya langsung terigat keluhan suami yang mulai berkurang penciumannya. Swab test kali ini benar-benar membuat saya lebih dag dig dug dari biasanya. Jumat malam suami lebih ketat lagi menjaga jarak dengan saya dan anak-anak. Ia menggunakan masker di rumah dan makan/ berkegiatan yang membutuhkan membuka masker hanya dilakukan di kamar  depan. Mengingat  saya pun sedang sakit, maka saya juga mulai menjaga jarak dengan anak-anak. Malan itu berasa begitu panjang. Saya berdo’a agar hasil swab test suami besok baik-baik saja.  Tapi di sisi lain, saya pun mulai merasa khawatir mengingat suami mengeluh bahwa indra penciumannya semakin menghilang.

Sabtu 27 Februari 2021. Menjadi hari paling kelabu bagi kami. Pagi hasil swab test suami keluar dan hasilnya ia POSITIF covid-19. Luar biasa kaget, seperti mimpi dan saya seketika nge-blank bingung harus berbuat apa. Suami berusaha menenangkan dan mengingatkan saya untuk tetap memakai masker dan menjaga jarak dengan anak-anak. Sederet pertanyaan kritis dari si sulung juga mulai bermunculan. “Ummi dan Abi kenapa pakai masker? Kan kita di rumah. Ummi kenapa Aza ga boleh makan bareng Ummi? Ummi dan Abi kenapa kalau makan di kamar depan dan di tutup kamarnya? Kenapa Aza ga boleh masuk kamar  depan? Kenapa Aza ga boleh minum pake gelas Ummi dan Abi?” Sederet pertanyaan dari si Sulung coba kami jelaskan dengan kalimat-kalimat yang sederhana yang mudah dipahaminya. Kami jelaskan pada si Sulung bahwa Ummi dan Abinya sedang sakit. Saya melakukan pekerjaan domestik sambal berusaha menenangkan diri. Suami menghubungi pak RT dan perawat yang bisa dilakukan swab test ke rumah kami. Saya dan anak-anak harus swab test mengingat kami memiliki kontak erat terlebih saya sedang mengalami gejala batuk ringan dan flu.

Sembari menunggu swab test saya dan suami mendiskusikan langkah yang akan diambil. Jika suami saya saja yang positif, maka suami berencana untuk isolasi mandiri di sebuar Rumah Sakit rujukan dari perusahaannya. Jika saya juga positif sedangkan anak-anak negatif maka ada dua pilihan. Pertama kami tetap isolasi mandiri di rumah Bersama anak-anak dengan tetap menerapkan prokes (wajib memakai masker kecuali di kamar mandi dan di ruang kamar depan). Pilihan kedua adalah menitipkan anak-anak ke orangtua saya di kampung.  Pukul 13.00 perawat datang. Saya dan anak-anak melakukan swab test. Setelah menunggu, hasilnya pun keluar.  Hasilnya saya positif sedangkan anak-anak negatif.  Kali ini  saya tidak sekaget sebelumnya. Saya sudah punya feeling akan positif hasilnya karena saya sedang mengalami gejala mirip covid-19 juga memiliki kontak yang erat dengan suami. Saya dan suami bersyukur dan sedikit merasa lega karena Alhamdulillah anak-anak hasilnya negatif. Kami pun berkonsultasi langkah apa yang harus  kami ambil. Dan petugas Kesehatan menyarankan agar anak-anak dipisahkan dari rumah dengan di titipkan pada saudara terdekat.

Ahad pagi, abah (ayah saya) dan adik saya sudah berangkat menuju rumah kami. Abah akan menjemput anak-anak. Sejak hari Sabtu, saya mulai mengajak ngobrol si Sulung. Membujuk agar ia mau tinggal sementara bersama kakek neneknya di kampung. “Teteh aza, nanti tinggal dulu sama abah sama enin dan ateu ya. Ummi dan ab ikan sakit, jadi gab oleh dekat-dekat dulu sama teteh dan de Asqi. Jadi Ummi dan Abi di sini dulu supaya sembuh dulu sakitnya. Nanti kalua sudah sembuh, kita kumpul lagi.” Saya mencoba menjelaskan. “Ga mau. Aza ma uke enin nya sama Ummi sama Abi sama de Asqi. Kenapa Ummi ga ikut? Aza mau di sini aja sama Ummi,” tolak si Sulung. Sampai hari Ahad subuh, saya masih berusaha membujuk dengan cara menjelaskan sesuai dengan bahasa yang mudah dipahaminya. Sampai akhirnya Ahad pagi teteh Aza berhasil dibujuk. Saya jelaskan bahwa jika ia tetap di sini ikut isoman maka salah satu konsekwensinya ia tidak boleh keluar rumah apalagi jalan-jalan naik motor seperti biasa.

Adik saya mengabari bahwa sebentar lagi ia sampai. Barang keperluan anak-anak telah diseprot desinfektan kemudian kami simpan di teras. Anak-anak pun telah siap. Si Sulung malah sudah tidak sabar ingin segera pergi. Karena sedari kemarin ia terus mengajak Abi nya naik motor, ingin jalan-jalan keluar rumah. Perasaaan saya mulai campur aduk. Di satu sisi saya yakin ini adalah jalan yang terbaik untuk semuanya terutama untuk kebaikan anak-anak. Tapi di sisi lain saya begitu hancur Ketika harus berjauhan dengan anak-anak. Selama ini anak-anak tidak pernah berpisah dengan saya. Sambil menunggu, saya memandangi wajah mereka satu persatu dan air mata pun sudah tak bisa saya bending lagi. Saya menangis tapi kemudian sekuat tenaga saya hapus dan tahan kembali agar anak-anak terutama si Sulung tidak melihatnya.

Abah pun sampai di rumah kami. Barang-barang anak anak yang di teras di ambil. Si Sulung langsung lari keluar rumah memeluk tantenya. Saya berikan Asqi yang masih saya gendong kepada suami saya. Kemudian suami saya berikan Asqi kepada adik saya. Saya hanya melihat di balik jendela rumah. Air mata mengalir tidak tertahan lagi. Asqi pun ikut menangis. Ia menangis sembari melihat wajah tantenya. Tidak menunggu lama, anak-anakpun akhirnya berangkat. Pergi ke kampung bersama Abah dan tantenya. Setelah anak-anak menghilang dari pandangan saya. Saya masuk kamar dan tangis saya pun pecah. Entah sudah berapa tisu yang saya pakai untuk menghapus air mata. Suami datang menghampiri saya dan berusaha menenangkan saya. “Udah nangisnya. Ini yang terbaik, terutama untuk anak-anak. Kita di sini fokus untuk sehat, Ummi harus tenang jangan sedih terus supaya anak-anak di sana juga anteng,” ungkap suami. Sembari sesegukan saya berusaha menarik nafas berusaha menghentikan tangis sambil mengiyakan apa yang dikatakan suami.

Ahad malam berlalu begitu panjang bagi saya. Adik saya dan enin (mamah saya) mengirim pesan singkat : Teteh sama aa di sana yang tenang fokus sama kesembuhan. Teteh jangan kepikiran terus anak-anak supaya anak-anak di sini anteng sehat dan baik-baik saja. Setelah shalat berjamaah Isya, saya video call anak-anak. Si Sulung Alhamdulillah anteng dan ceria. Saya tidak menyangka bahwa ia akan sekuat itu. Si kecil memang cukup rewel. Ia sulit tidur. Ia mencari saya karena ia masih ASI dan terbiasa menyusu secara langsung ketika mau tidur. Saya pun sama dengan si kecil, sulit tidur. Perasaan masih tidak karuan ditambah kondisi fisik yang semakin lemah. Selain gejala batuk dan sakit persendian, indra penciuman saya pun mulai menghilang. Badan dan nafas terasa lebih mudah lelah/capek.  Stok ASIP di kulkas dibawa semua ke kampung. Alhamdulillah aman untuk seminggu kedepan. Walaupun demikian, selama isoman saya tetap sambil pompa ASIP agar ASI saya tidak berhenti.

Keesokan harinya, Alhamdulillah mendapat kabar si kecil pun sudah mulai anteng dan tidak rewel. Hari demi hari kami lalui dengan saling menguatkan. Suami selalu hadir menenangkan saya. Saya tahu ini bukan hal mudah. Tapi saya pun yakin di balik setiap ujian pasti ada hikmah yang tidak pernah kita duga. Allah tidak akan menguji diluar kemampuan hambanya. Dan tidak terasa, ini adalah hari ke-14 kami isolasi mandiri. Kami baru saja selesai melakukan swab test dan menunggu hasilnya dua hari kemudian. Bagi saya ini pengalaman luar biasa. Empat belas hari yang mengajarkan banyak hal. Allah memberikan kami couple time. 14 hari berdua saja bersama suami. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari bicara kisah masa lalu, bercanda receh untuk saling menghibur, membicarakan masa depan, saling perang komentar  mengenai acara TV dan yang paling penting adalah kami berdua menjadi semakin kokoh dengan ujian ini. 14 hari ini pun menempa anak-anak menjadi kuat. Allah maha baik dan dalam kondisi apapun kami sadar bahwa kami harus senantiasa bersyukur. Bersyukur Allah memberikan kami Keluarga, Sahabat, Teman dan Tetangga yang luar biasa baik. Semuanya memberikan do’a  support bagi kami. Ujian ini pahit seperti obat. Tapi insyaAllah membawa kebaikan dan akan mengobati ‘penyakit’ pada diri kami.

Secara fisik mungkin kami termasuk orang yang terinfeksi dengan gejala ringan. Tapi serangan secara psikis dari covid-19 ini luar biasa saya rasakan. Bagaimana tertatih-tatihnya saya membangun pikiran positif untuk meningkatkan imun tubuh. Bagaimana susah payahnya saya melawan virus ini sembari menahan rindu yang begitu dalam. Bagi teman-teman yang masih meragukan virus ini ada atau tidak, pesan kami tetaplah jaga protokol kesehatan sebagai ikhtiar kita dalam menjaga diri juga orang lain. Jangan sampai kelalaian atau keegoisan menjadika kita sebagai penyebab penderitaan orang-orang. Bagi teman-teman yang sudah menyempurnakan ikhtiar tapi takdirNya tidak sesuai harapan kita, maka percayalah bahwa takdirNya adalah yang terbaik bagi hambaNya. Tugas kita sebatas berikhtiar dan berdo’a, sisanya adalah bertawakal menyerahkan segalanya pada Yang Maha Mengetahui.


11 Maret 2021

14.00

 

 

 


Jumat, 14 Desember 2018

Perjalanan Azalea Menatap Dunia

Azalea Madinaramadhani Prayana


Salahsatu momen spesial dalam hidup saya adalah momen ketika saya dilahirkan kembali untuk menjadi seorang ibu. Sejak masuk bulan ke sembilan saya sudah pulang ke rumah orangtua karena memang berecana melahirkan di sana. Memasuki usia kehamilan 36 minggu pemeriksaan pun semakin rutin dilakukan. Alhamdulillah dari hasil pemeriksaan tidak ada masalah. Posisi bayi sudah bagus. Kepada sudah di bawah bahkan sudah masuk ke rongga panggul. Perasaan saat itu campur aduk. Bahagia, excited, dan terharu. Bahagia luar biasa membayangkan bisa melihat wajah makhluk kecil yang sudah membuat saya jatuh cinta sejak awal dia ada di rahim saya.

HPL saya adalah 21 Juni 2017. Saat itu adalah bulan ramadhan dan HPL saya bertepatan dengan pekan terakhir di bulan ramadhan. 20 Juni ketika sahur saya mulai merasakan mules. Seperti mau buang air besar, tapi bukan. Mungkin ini adalah hari pertemuan kita nak, bisik saya dalam hati. Semakin lama, mules itu semakin terasa lebih sering. Tapi orangtua saya menyarankan tidak usah ke bidan terlebih dahulu Karen ini masih fase awal. Jam 6 pagi saya masih jalan-jalan di depan halaman rumah. Setelah mandi dan sarapan (saya memutuskan untuk tidak shaum pada hari itu), rasa mules itu tiba-tiba hilang. Saya tunggu hingga beberapa jam kemudian, tapi tetap tidak ada mules lagi. Kata mamah mungkin itu masih kontraksi palsu.

Sekitar pukul 02.00 dini hari tanggal 21 Juni 2017 mules itu kembali terasa. Hari ini bertepatan dengan HPL nya. Mules kali ini dirasa lebih hebat dan kuat. Hingga pukul 03.30 ketika keluarga masih bersantap sahur, saya sudah merasa perlu untuk pergi ke bidan. Pada saat itu bokong terasa panas disertai mules yang semakin sering datangnya. Selesai santap sahur, saya suami dan ayah saya langsung pergi ke bidan. Sesampainya di sana saya di cek pembukaan oleh ibu bidan. Luar biasa, pertama kali saya merasakan cek pembukaan itu ternyataa… (susah diungkapkan dengan kata-kata). Ibu bidan bilang ini sudah pembukaan satu. Bidan menyarankan untuk pulang dulu saja. nanti pagi bisa langsung ke puskesmas karena bidan yang saya pilih adalah kepala puskesmas. Jadi dia lebih sering berada di sana daripada di rumahnya. Termasuk pada hari itu, memang pagi hari adalah jadwal beliau di puskesmas.

Setelah sholat subuh. Saya dan keluarga langsung pergi ke puskesmas. Di puskesmas dilakukan serangkaian pemeriksaan. Pemeriksaan pembukaan, pemeriksaan urin, dan tensi darah. Ketika cek pembukaan, bidan yang mengecek saya ekspresi wajahnya terlihat sedikit kaget. Kemudian dia meminta temannya yang sesame bidan untuk mengecek ulang. Mereka berdua terlihat mengobrol kemudian salahsatu bidan menanyakan kepada saya apakah pernah merasa air ketubannya keluar (rembes). Soalnya menurut mereka air ketuban saya sudah sedikit lagi. Kemungkinan sudah rembes (bukan pecah). Saya cukup kaget karena saya tidah merasakan ada cairan yang keluar atau rembes. Tapi bidan itu berusaha menenangkan saya dan akan mengecek ulang.

Jam 07.00 saya masih di puskesmas. Kontraksi semakin kuat dan sering dirasakan. Seorang bidan memanggil saya dan suami. Ternyata dari hasil cek urine, diketahui bahwa kandungan protein saya cukup tinggi (melebihi batas normal). Mereka meminta saya untuk mengambil lagi urine untuk di cek kedua kalinya. Karena bisa ada kemungkinan salah alatnya. Hingga tes urine ke tiga, hasilnya masih tetap sama. alat tes yang digunakan saat itu adalah seperti kertas lakmus. Untuk kesekian kalinya bidan menanyakan apakah saya punya riwayat darah tinggi, apakah kaki saya bengkak yang tidak wajar dll. Dan jawabannya adalah tidak. Setiap kali kontrol kehamilan, tensi darah saya tidak pernah tinggi. Malah lebih sering rendah ketika trimester pertama. Dan kaki saya punti dak bengkak sama sekali. Mendengar jawaban saya, beberapa bidan yang bertugas terlihan heran. Saya mulai merasa khawatir. Saya tahu konsekuensi dari kandungan protein yang melebihi batas normal adalah bisa kemungkinan terjadinya bayinya keracunan. Dan benarlah, ketika menjelaskan hasil tes urine ketiga, bidan menjelaskan kemungkinan itu. Maka atas dasar keselamatan, semua bidan di sana menyarankan saya untuk di rujuk ke rumah sakit dengan pertimbangan karena di rumah sakit fasilitasnya lebih lengkap terutama ada ruang NICU untuk bayi. Jadi kalau ada apa-apa dengan bayinya, bisa ditangani lebih cepat.

Setelah berdiskusi dengan keluarga. Akhirnya kami memilih satu-satunya RSIA yang ada di sukabumi saat itu. Pertimbangan kami adalah karena RSIA memang RS yang dikhususkan untuk menangani masalah itu sehingga berharap fasilitas dan SDM nya pun lebih lengkap dan paham disbanding RSU. Di perjalanan menuju rumah sakit, kontraksi justru semakin kuat lagi. Suami dan mama terus menyuruh saya untuk membaca doa. Segala doa dan dzikir saya baca. Saat itu yang saya minta kepada Allah adalah ;”Ya Robbi selamatkan anak saya, kuatkan kami berdua hingga kami berdua bisa sampai pada pertemuan yang dinanti selama ini.”

Sesampainya di rumah sakit, melihat saya yang sudah kepayahan petugas security langsung memberikan kursi roda dan mengarahkan saya untuk ke bagian ruang bersalin. Saya langsung masuk ruang bersalin sedangkan suami masih mengurus beberapa administrasi. Pada saat itu yang ikut ke RS adalah suami, orangtua saya, nenek saya dan adik saya. Karena di ruang bersalain hanya boleh ditunggu oleh satu orang, akhirnya keluarga hanya suami saya yang ada di ruangan sementara keluarga menunggu di luar. Saya pun melaksanakan serangkaian tes urine dan darah. Dan saat itu sudah masuk ke pembukaan 3. Saya jalan-jalan dengan suami di depan ruangan bersalin dengan sesekali berhenti dan saya genggam erat tangan suami saya untuk menahan sakitnya kontraksi yang di rasa. Hasil tes lab pun keluar. Alhamdulillah hasilnya baik semua termasuk kandungan protein saya ternyata masih normal dan air ketuban pun masih mencukupi (normal). Luar biasa bersyukurnya saya.

Keluarga pun memutuskan untuk pulang dulu ke rumah dan tinggallah saya dan suami saya di RS. Datang lah dokternya ke ruangan saya. Semua di cek termasuk pembukaan dan kontraksinya. Sudah masuk ke bukaan 4 ternyata. Berdasarkan alat cek kontraksi, munurut dokter kontraksinya sudah bagus dan kuat. Kalau kontraksinya terus seperti ini, insyaAllah maghrib atau isya sudah bisa lahiran. Dokter pun memerintahkan petugas untuk menyiapkan semua lata2 untuk proses lahiran normal. Melihat saya yang sesekali memegang kuat tangan suami saya untuk menahan sakit. Dokternya tersenyum dan berucap :” luar biasa kuat ibu ya, biasanya rata-rata kalau udah masuk ke kontraksi sekuat ini ibu2 sudah teriak2 ada yang sampai jambak2 rambut suaminya.” Saya hanya membalas pujian dokter itu dengan senyum tipis dan bisikan dalam hati :”aamiin”.

Kontraksi dan detak jantung bayi terus dimonitor oleh petugas bidan yang bolak-balik ke ruangan saya. Hingga sampailah pada waktu berbuka puasa. Setelah maghrib dookter datang kembali untuk mengevaluasi. Cek pembukaan ternyata masih bukaan 4. Saya heran, karena sakit yang rasakan semakin bertambah sering dan kuat tapi bukaan belum bertambah lagi. Dokternya memasang wajah herannya karena menurut dia kontraksinya sudah sangat kuat dan sering tapi kenapa bukaan masih 4.

Sambil menunggu ke pemeriksaan bukaan berikutnya saya dan suami terus jalan-jalan di dalam ruangan bersalin. Sambil memegang tangan saya, suami memberi semangat berbisik “insyaAllah bisa.” Sampai pada pengecekan berikutnya Alhamdulillah sudah masuh bukaan ke lima. Tapi dari hasil usg, dokter menyatakan bahwa dede bayinya sudah kekurangan asupan oksigen karena kontraksi yang saya alami sudah sangat kuat dan sering.  Sampai beberpa pengecekan bukaan. Qodarullah, bukaannya tidah nambah-nambah. Hanya di bukaan lima tapi dengan kontraksi yang semakin kuat dan semakin sering.

Hingga di pemeriksaan terakhir, melihat kondisi bayi yang semakin lemah dokter pun memberikan pilihan kepada kami untuk dilakukan SC. Beliau memberikan pilihan alternative lain yaitu dengan induksi. Akan tetapi karena kondisi bayi yang melemah, maka dokter bilang bahwa induksi akan lebih beresiko untuk keduanya terutama bayi. Jika kondisi bayi nya masih normal, beliau bilang tidak apa-apa dengan induksi. Tapi ini adalah pertimbangannya kondisi bayi. Mendengarkan penjelasan dokter saya luar biasa kaget. Tidak pernah terbayang sedikitpun bahwa saya akan melakuka SC. Di tengan kondisi yang baik-baik saja semenjak awal kenapa di beberapa langkah terakhir justru saya diberikan kejutan seperti ini.

Dari dulu jangankan dengan namanya operasi besar atau kecil. Dengan jarum suntik saja saya takut luar biasa. Dengan perasaan yang luar biasa campur aduk saya terus bertanya dan berdiskusi dengan dokter dan suami terkait semuanya. Setelah dijelaskan semua resiko dll terkait SC, kami pun diberi waktu oleh dokter untuk berbicara dengan keluarga. Akhirnya saya menelpon orangtua. Menceritakan semuanya sembari tidak kuat menahan tangis. Di ujung saya terdengar suara sendu yang terus memberikan saya semangat. Suara mamah dan abah yang begitu menambah ketenangan dan kekuatan untuk saya. Intinya mereka menguatkan saya bahwa tidak apa-apa jika memang jalannya harus SC maka itu berarti adalah takdir dari Allah yang terbaik. Seusai menelpon suami yang sedari tadi selalu memegang erat tangan ini menanyakan “gimana?” saya pun mengangguk. Semua rasa takut saya akan operasi hilang seketika membayangkan wajah si makhluk kecil yang begitu saya cintai ini. Yang terpenting bagi saya adalah keselamatannya. Akhirnya suami pun pergi untuk mengurus beberapa administrasi dan menandatangani surat persetujuan.

Saya pun masuk ruang operasi. Suami hanya bisa mengantarkan sampai pintu ruang operasi karena SC tidak boleh ada keluarga yang menemani. (terkecuali artis2 itu ya, yg bisa, hehe). Suami selalu memegang erat tangan saya dan memberi saya kekuatan hingga akhirnya di pintu ruang operasi, genggaman itu harus saya lepaskan. Di ruang operasi dokter mengingatkan saya untuk berdoa. Kemudian petugas anastesi menyuntikan bius di tulang punggung. Dan itu luar biasa rasanya. Disuntik biasa saja saya takut. Dan saat itu saya merasakan disuntik di punggung yang berkali lipat sakitnya dari disuntuk biasa. Sambil mengajak ngobrol, akhirnya obat bius pun bereaksi. Saa sudah tidak bisa mengangkan jari kaki saya sedikit pun. Dari perut sam ujung kaki semua mati rasa. Operasi pun dimulai. Saya tidak merasakan apa-apa. dan Akhirnya tangisan itu pun terdengan. Tangisan yang sudah sangat saya rindukan. Seorang dokter anak kemudian membawa makhluk kecil itu ke hadapan saya sambil berucap :”selamat ya bu, anaknya perempuan. Alhamdulillah sehat, lengkap semuanya.”. Ditempelkannya dia di dada saya. Seketika itu tangis nya berhenti dan saya tatap wajahnya dengan air mata kebahagiaan yang tidak tertahan lagi. Syukur luar biasa. Bahagia luar biasa. Ya Rabbi akhirnya Engkau sampaikan kami berdua di pertemuan yang sudah lama dinanti ini. Perjalanan luar biasa hingga akhirnya azalea bisa menatap dunia untuk pertama kalinya.
11.00 pm
15122018


Minggu, 05 Maret 2017

Setampan Wajahnya, Semenawan Hatinya, Semulia akhlaknya



Sejak hamil, banyak keluarga dan rekan yang menyarankan untuk banyak membaca Al Quran surat Yusuf dan Maryam. Itu membuat saya semakin tertarik untuk membaca terjemah , tafsir dan kandungan dari kedua surat tersebut. Saya mulai dengan surat Yusuf.

Surat Yusuf. Seperti nama suratnya isi kandungan surat ini menceritakan kisah nabi Yusuf a.s. Yang terlintas pertama kali ketika menyebut nabi Yusuf a.s adalah ketampanannya. Tampannya nabi Yusuf a.s ternyata tak sekadar fisik, nabi Yusuf a.s juga dianugerahi hati yang menawan.

Ujian itu dimulai
Nabi Ya’kub dikarunia’i 12 anak yang salahsatunya adalah nabi Yusuf a.s. Saudara-saudara nabi Yusuf a.s ternyata menyimpan kecemburuan terhadapnya sejak dulu. Kecemburuan itu semakin bertambah hingga melahirkan kedengkian. Kedengkian saudara-saudara nabi Yusuf a.s telah membutakan mereka hingga mereka berniat membunuhnya. Akan tetapi salah seorang diantara saudara-saudara nabi Yusuf a.s memberikan saran untuk membuangnya ke dasar sumur agar nabi Yusuf a.s dipungut oleh musafir. Akhirnya rencana mereka pun terlaksana. Nabi Yusuf a.s dibuang ke dasar sumur hingga ada musafir yang mengambilnya. 

  Zulaikha : Ujian berikutnya
Allah menyelamatkan nabi Yusuf a.s. Nabi Yusuf a.s diambil musafir lalu musafir itu menjualnya pada orang Mesir. Bertahun-tahun nabi Yusuf a.s tinggal bersama orang Mesir tersebut. Nabi Yusuf tumbuh dengan ketampanan akhlak dan fisik yang semakin bertambah. Istri orang Mesir yang bernama Zulaikha pun mulai jatuh hati pada nabi Yusuf a.s.  Suatu saat ia menggoda nabi Yusuf a.s. Zulaikha berdandan semenarik mungkin kemudian memanggil nabi Yusuf a.s dan mengunci pintu hingga tinggalnya mereka berdua pada suatu ruangan. Akan tetapi dengan kemuliaan akhlaknya , nabi Yusuf a.s memohon perlindungan kepada Allah Swt. Berkat bimbingan dari Allah Swt, nabi Yusuf a.s tidak terjerumus pada kesesatan godaan itu. Nabi Yusuf a.s dengan teguh berdiri pada kebenaran.

Tidak mudah tentunya untuk teguh di atas kebenaran ketika godaan seperti yang nabi Yusuf a.s alami menghampiri kita. Terlebih di zaman sekarang godaan tersebut merajalela. Wanita tidak lagi malu memakai pakaian serba mini yang tentunya dapat menggoda kaum laki-laki. Di akhir zaman ini sangatlah jarang kita temukan seorang pemuda yang dapat mengendalikan hawa nafsunya terkait wanita. Bukan berarti tidak ada. 

Maka seperti nabi Yusuf a.s, orangtua memiliki harapan bahwa anak laki-lakinya kelak dapat seteguh nabi Yusuf a.s dalam menjaga kesuciannya. Karena sesungguhnnya menjaga kesucian diri bukanlah hanya milik kaum perempuan. Sebagai hambaNya kau laki-laki pun memiliki kewajiban yang sama. Menjaga pergaulannya dengan akhlak mulia sehingga tidak terjeremus pada pergaulan bebas. Pergaulan yang tidak ada batas lagi antara laki-laki dan perempuan. Pergaulan yang menganggap biasa pelukan bahkan ciuman antara yang bukan muhrimnya. Menjaga rasa yang merupakan fitrah bagi manusia agar rasa itu tidak dijadikan alibi untuk melanggar aturan Allah Swt. 

Ujian itu belum selesai
Nabi Yusuf a.s harus menghadapi ujian berikutnya yaitu dimasukan ke dalam penjara. Berat tentunya. Dipenjara atas kesalahan yang tidak pernah diperbuat. Tapi sekali lagi dengan ketampanan hatinya, nabi Yusuf a.s menghadapi ujian itu dengan sabar.

Entah berapa tahun lamanya nabi Yusuf a.s dipenjara. Tetapi selama di dalam penjara tersebut justru nabi Yusuf a.s menerima mukjizat, wahyu bahkan memanfaatkan waktu yang ada untuk memulai dakwahnya. Masuknya nabi Yusuf a.s tidak membawa pada kesengsaraan tetapi justru membawa pencerahan batin.

Maka seperti nabi Yusuf a.s, orangtua memiliki harapan bahwa anaknya kelak dapat memiliki kebesaran hati dan kesabaran dalam menghadapi ujian hidup seberat apapun itu. Memiliki kejujuran sejati yang akan membawa diri pada terkuaknya kebenaran dan runtuhnya kebatilan.

Buah manis ujian
Setelah terkuaknya kebenaran nabi Yusuf a.s, raja pun memanggil nabi Yusuf a.s dan memberikan jabatan kepadanya. Nabi Yusuf a.s menerima tawaran raja tersebut. Dengan kekuasaan yang dimilikinya sekarang, nabi Yusuf a.s pun dapat memperluas dakwahnya. Setelah berkuasa, nabi Yusuf a.s tidak melakukan balas dendam terhadap saudara-saudaranya yang pernah berbuat zalim kepadanya. Malah, dengan cara yang halus nabi Yusuf a.s memberikan pertolongan kepada mereka. Dengan perlahan, nabi Yusuf a.s menyatukan kembali keluarganya.

Maka seperti nabi Yusuf a.s, orangtua memiliki harapan bahwa anaknya kelak dapat menjadi pemimpin yang berhati bersih. Menggunakan kepemimpinan dan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.   

Maka seperti nabi Yusuf a.s, orangtua memiliki harapan bahwa anaknya kelak dapat memiliki jiwa kesatria. Seseorang yang berani memaafkan. Tidak membalas kezaliman dengan kezaliman.

050317
10.00pm

Rabu, 21 Desember 2016

Beginikah Awal Perjuangan Itu Ibu


Hari ibu tahun ini terasa lebih special bagi saya. Alhamdulillah kini saya mulai diberikan amanah untuk menjadi seorang ibu. Tentu saja titel sebagai seorang ibu belum lah pantas disematkan pada saya. Saya baru saja memulai perjalanannya. Bahagia pasti saya rasakan, hingga ini adalah salahsatu kebahagiaan yang sulit untuk saya menguraikannya melalui kata-kata, Saya dan suami memang berkeinginan untuk tidak menunda memiliki anak. Dan merupakan anugerah yang tak terkira ketika Allah mengabulkan keinginan kami ini.

Bahagia tak selalu berarti jalan mulus tanpa rintangan, tantangan ataupun perjuangan. Begitupun dengan kebahagiaan saya saat ini, bukan tanpa perjuangan. Sebelum menikah saya pernah membaca buku tentang masa kehamilan dan melahirkan walaupun hanya sepintas dan tidak terlalu banyak. Ketika mengetahui saya positif hamil, maka selain banyak bertanya kepada ibu saya pun memperbanyak membaca buku mengenai kehamilan dan parenting baik dari sisi medis, agama maupun kisah pengalaman-pengalaman seorang ibu yang luar biasa.

Benarlah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena ternyata kondisi hamil seseorang itu berbeda-beda dan memiliki keunikan tersendiri. Minggu ke 1 samapai ke 2 saya tidak mengalami apa yang namanya morning sickness. Pada saat itu saya hanya sering merasa lelah dan lemas. Saya merasa lebih tenang karena saya berpikir mungkin saya termasuk ibu hamil yang tidak mengalami morning sickness (mual, muntah). Karena beberapa ibu hamil tidak mengalami mual dan muntah pada masa kehamilannya.

Ternyata takdir berkata lain, memasuki minggku ke 4 saya mulai merasakan bagaimana morning sickness itu. Penciuman saya juga mulai lebih tajam dan sensitif. Sering merasa mual bahkan muntah ketika mencium bau tertentu. Pada masa kehamilan ini saya masih tinggal terpisah dengan suami. Suami kerja di Jakarta sedangkan saya masih harus menyelesaikan amanah saya hingga bulan Juni di Bogor. Alhamdulillah suami bisa menngerti dan mengizinkan saya untuk menyelesaikan terlebih dahulu amanah saya di sini hingga akhir tahun ajaran. Suami pulang ke tempat tinggal sementara kami di Bogor seminggu sekali. Lucunya tempat tinggal kami hanya kami tinggali di akhir pekan karena pada saat weekday sayapun tinggal di asrama tempat saya mengajar. Tidak apalah berjauhan dulu dengan suami untuk sementara, toh dulu saja semenjak kuliah biasanya juga sendiri jauh dari keluarga. 

Dugaan saya untuk tidak merasa kenapa-kenapa ketika harus jauh dari suami ternyata salah. Keadaan ternyata berbeda ketika sudah menikah terlebih sedang dalam kondisi hamil juga. Jujur saja, saya merasa agak sedih ketika jauh dari suami dan keluarga pada masa-masa seperti ini. Akan tetapi saya harus melawan perasaan itu. Ketika ibunya sedih maka anak dalam kandungannyapun akan ikut merasakannya. Kini saya tidak lagi sendiri, dalam tubuh saya telah tumbuh satu sosok yang harus saya jaga dan perjuangkan. Dan untuk menjaganya saya harus belajar makna sebenarnya dari kata kuat.

Kuat dan berjuang adalah dua kata yang selalu beriringan. Memasuki pekan ke 5 dan 6 mual dan muntah semakin sering. Bahkan entah kenapa sayapun tak bisa makan nasi. Bukan tidak mau, tapi ketika dipaksakan makan nasi maka tidak lama kemudian akan dimuntahkan kembali. Tanpa nasi badan mulai terasa lemas, tapi saya paksakan makan apapun pengganti nasi seperti buah pisang atau roti agar nutrisi tetap terpenuhi. Saat itu yang terpikir oleh saya bukan lagi tentang tubuh saya tapi tubuh dia sosok yang Allah amanahkan yang hidup di rahim saya. 

Kurang lebih 5 hari tidak makan nasi dan lauk pauk, puncak paling parah terjadi ketika hari sabtu saya dan suami pulang ke rumah orangtua. Dari siang sampai malam saya tidak berhenti mual dan muntah. Jangankan makanan, minum saja beberapa saat kemudian langsung muntah kembali. Entah sudah berapa kali saya bolak balik kamar mandi muntah dan karena lambung sudah tak lagi menampung makanan maka yang dikeluarkan pun cairan asam yang tentu saja rasanya sangat tidak enak. Saya bersyukur karena itu terjadi ketika saya menginap di rumah orangtua. Saya merasa lebih tenang karena suami sedang pulang dan terlebih karena ada mamah. Mamah selalu menjadi ibu yang luar biasa. Akhirnya karena tubuh saya sudah tidak kuat, kami memutuskan untuk pergi ke klinik terdekat pada pukul 23.00.

Saat itu, saya merasakan tubuh saya semakin lemah dan saya sangat ingin untuk segera ke klinik terdekat agar dapat diinfus. Sebenarnya saya sangat benci dengan namanya jarum suntik. Bahkan ketika saya sakit lumayan parah sekalipun saya paling tidak mau diinfus. Tapi kali ini berbeda. Saya begitu menginginkan untuk segera diinfus. Lagi-lagi bukan tubuh saya yang saya khawatirkan saat itu, tapi saya sangat khawatir dengan dia sosok yang Allah amanahkan dalam rahim saya. Jika saya dibiarkan saja lemas tanpa ada makanan atau minuman masuk bagaimana nutrisi dia bisa terpenuhi. Itulah kenapa yang ada dalam benak saya saat itu adalah untuk segera ke klinik dan diinfus.

Kejadian muntah seperti di atas ternyata bukan yang pertama dan terakhir. Dalam trimester pertama ini Alhamdulillah saya mengalaminya beberapa kali. Sehingga dalam beberapa kali kontrol berat badan saya terus turun. Walaupun demikian, Alhamdulillah janinnya berkembang dengan baik. Itu yang paling menenangkan saya. Mual dan muntah-muntah tentunya lebih berasa berat ketika terjadinya di asrama dimana jauh dari suami dan orang-orang terdekat. Tapi sekali lagi saya tekadkan untuk melawan perasaan saya sendiri. Saya harus kuat demi dia. Dulu saya percaya tidak percaya dengan yang namanya ngidam atau keinginan aneh dari orang yang sedang hamil. Tenyata keinginan akan suatu makanan tertentu itu muncul karena memang rata-rata ibu hamil eneg akan makanan tertentu atau makanan yang biasanya. Jadilah seorang ibu hamil membayangkan sepertinya enak kalau makan ini, itu dll yang tidak ada di sekitarnya. Kurang lebih itulah yang saya rasakan ketika menginginkan makanan tertentu. Dan lucunya ketika makanan itu sudah ada, malah hanya dimakan sedikit atau bahkan hanya dicicipi karena ternyata berasa eneg juga. Dari sisi ngidam saya tidak terlalu merasakan yang aneh-aneh seperti ibu hamil lainnya. Akan tetapi saya sempat merasakan bau dan eneg dengan bumbu-bumbu masak seperti bawang dll juga suka pusing ketika ada di keramainan (kumpulan orang banyak). Maka untuk beberapa minggu saya tidak bisa memasak sendiri untuk suami. 

Di trimester pertama ini banyak sebenarnya kisah yang ingin dibagi. Ingin rasanya menulis membagi kisah dari semenjak pertama berita bahagia itu ada. Tapi apa daya, jangankan untuk menulis, untuk sekadar membuka media sosial, grup atau apapun di HP itu tidak sempat dan tidak bisa. Apa yang saya alami ini belumlah seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan seorang ibu yang seutuhnya. Sekali lagi, saya baru saja memulai jalan perjuangan ini. Baru merasakan bagaimana merasakan ada seseorang yang lebih saya sayangi, cintai dan jaga daripada diri saya sendiri. Maka pantas saja jika dikatakan surga itu berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Maka pantas saja ketika ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang harus dihormati, Beliau SAW menjawab ibumu sebanyak tiga kali baru kemudian ayahmu.

Di hari ibu ini, saya, kamu dan kita semua baik yang telah menjadi orangtua ataupun yang mau menjadi orangtua haruslah selalu mengingat bahwa perjuangan ibu kita untuk membesarkan kita dari mulai segumpal darah hingga saat ini begitu berat. Bukan jalan yang mudah, tapi dengan senyuman bahagia ibu kita menjalaninya. Perjuangan yang bahkan mempertaruhkan nyawanya, tapi ibu kita rela melakukannya dengan penuh keikhlasan. Kenapa perjuangan berat itu bisa dilakukan oleh seorang ibu yang bahkan kalau kita lihat fisiknya tidaklah sekokoh ayah. Itu semua bisa seorang ibu lakukan karena ia memiliki hati yang begitu kuat. Hati yang Allah titipkan agar kelak seorang anak bisa mengenal penciptaNya melalui cinta, kasih sayang dan didikan seorang ibu sebagai madrasah pertamanya.

Awal perjalanan ini semakin menyadarkan saya akan luar biasanya sosok mamah. Bahkan hingga saat ini saya masih saja menyusahkan, merepotkannya. Begini juga mungkin yang dialaminya dulu ketika awal memasuki perjuangan panjang sebagai seorang ibu. Bahkan tentu lebih berat yang ia rasakan karena ketika itu sudah tak ada lagi seorang ibu tempatnya untuk berbagi keluh kesah, menenangkan dan menguatkan seperti yang ia lakukan untuk saya. Di balik tubuhnya yang tidak lebih besar dari saya itu, tersimpan kekuatan yang begitu besar. Tak ada yang bisa membalas apa yang telah dilakukannya sebagai seorang ibu. Apapun itu, materi sebanyak apapun itu tidak akan pernah sebanding. Terimakasih mamah.. 

Selamat hari ibu untuk seluruh ibu.. Juga untuk sosok ibu-ibu lain yang telah hadir menginspirasi dalam hidup saya. Semoga selalu adalah dalam keridhoan dan keberkahanNya..
I do Love you..
Bogor, 20122016
11pm