Kisah ini berawal pada hari Kamis 18
Februari 2021. Suami saya mengabari melalui pesan singkat bahwa ia sedang swab
test di kantornya. Semua karyawan kantor wajib swab test karena ada
salah satu karyawan yang sakit beberapa hari terakhir dan hasil swabnya positif
covid-19. Saya selalu ‘dag dig dug’ tiap kali suami swab test baik itu
jadwal rutinan dari kantor atau karena kebutuhan untuk dinas luar kota. Saat
itu saya balas WA suami dengan do’a dan support pikiran positif bahwa
insyaAllah hasil nya negatif. Suami saya pulang telat karena ia menunggu
hasilnya keluar terlebih dahulu. Dan hasil swab pun keluar setelah saya sholat
Isya. Alhamdulillah hasilnya negatif.
Pulang kerja seperti biasa suami
selalu membersihkan diri terlebih dahulu sebelum kontak dengan saya dan
anak-anak. Setelah bersih-bersih dan makan, seperti biasa suami bermain bersama
anak-anak sembari kami ngobrol ringan. “Abi, yang positif memang pernah kontak
sama abi? Teman satu ruangan?” tanya saya mengawali obrolan. “Bukan satu
ruangan sih. Tapi dia orangnya suka kemana-mana. Maksudnya banyak berinteraksi
dengan orang dan beberapa kali abi lihat dia tidak pakai masker di ruang kerja,”
ungkap suami. Saya sedikit kaget. “Ko bisa ga pakai masker. Emang ga ditegur?
Kan ada aturannya harus pake masker.” “ Aturan ya ada. Kadang suka dikontrol
juga beberapa kali ke setiap ruangan. Tapi pas tidak ada yang kontrol ya
beberapa orang buka masker,” jelas suami. “Hmm, iya sih susah juga. Yang
penting kita aja dulu ya yang disiplin. Yang penting abi sebisa mungkin di
kantor jaga prokes dengan baik ya.” Saya sedikit mengingatkan suami. “Iya,
insyaAllah,” suami menutup obrolan kami malam itu.
Hari Jumat kami melakukan rutinitas
seperti biasa. Suami pergi ke kantor dan saya pergi ke sekolah. Suami saya
bekerja di perusahaan konsultan engineering. Perusahaannya telah menerapkan
aturan prokes yang cukup ketat bahkan sempat full WFH (Work From Home)
ketika awal diberlakukan PSBB. Seiring berjalannya waktu, akhirnya perusahaan
pun mengadakan WFO (Work From Office) dan WFH (Work From Home) bergantian. Sedangkan
saya adalah seorang guru Matematika. Sejak awal pandemi saya mengajar dari
rumah secara daring. Saya sempat full WFH juga. Sampai akhirnya,
guru-guru mengadakan pembelajaran online tapi dari sekolah. Siswa tetap
di rumah, sedangkan guru-guru ke sekolah untuk membuat video pembelajaran,
mengerjakan administrasi juga mengadakan pembelajaran secara daring.
Sejak pandemi covid-19, saya dan suami sangat berhati-hati karena
kami memiliki dua anak balita di rumah. Anak pertama kami (Azalea) berusia 3
tahun 8 bulan dan anak kedua kami (Asqiyyah) masih berusia 10 bulan. Kami
memahami betul bahwa anak-anak termasuk yang beresiko di masa pandemi ini.
Terutama bagi Asqi anak kedua kami yang masuh berusia 10 bulan yang belum
lengkap imunisasinya sehingga dikhawatirkan daya tahan tubuhnya belum kuat.
Asqi adalah bayi yang lahir di masa awal
lock down diberlakukan di Indonesia. Berbeda dengan kakaknya yang pada
usia 10 bulan ia sudah diajak berpetualang ke berbagai tempat mulai dari wisata
alam sampai mall, Asqi sampai saat ini belum tahu yang namanya mall
itu seperti apa. Hehe..
Sabtu pagi setelah sepedaan dengan si
sulung suami mengeluh kurang enak badan. ‘’Mi, badan ko agak gak enak ya. Pas
jalan kaya gimana gitu kaki rasanya. Terus kepala pusing. Kenapa ya?” tanya
suami. “Paling masuk angin Bi. Nanti minum paracetamol terus tidur,”
jawab saya santai. “Iya. Tapi ko agak beda ya Mi. Ini rasanya kaya dulu waktu
Abi kena typus pas SD,” suami
menjelaskan. “Jangan ngomong kaya gitu ah. Engga, itu paling pusing biasa.
Setelah minum obat dan tidur pusingnya hilang,” jawab saya. Akhirnya suami
memutuskan untuk mengikuti saran saya. Minum obat dan beristirahat.
Senin 22 Februari 2021 suami libur
kerja karena kantor menutup kantor untuk dilakukan penyemprotan desinfektan. Tidak
seperti biasanya suami masih mengeluhkan pusing padahal ia sudah minum obat dan
beristirahat. Minggu malam badannya sedikit demam dengan suhu 37,5 derajat
celcius. Saya mulai khawatir dan menyarankannya untuk pergi berobat ke dokter. Sejak
merasa tidak enak badan, suami mulai menjaga jarak dengan anak-anak dan memilih
tidur sendirian di kamar depan. Karena kondisi yang tidak kunjung membaik,
akhirnya suami memutuskan untuk pergi berobat pada hari Selasa sekalian pergi
WFO. Hasil diagnosa dokter, suami sakit radang tenggorokan.
Setelah minum obat dari dokter Alhamdulillah suami
semakin membaik kondisinya. Ia sudah tidak merasakan pusing juga demam. Rabu
malam suami mengeluh penciumannya berkurang. “Mi, kecium ga bau kopi pengharum
ruangan?” tanya suami. “Kecium Bi. Ini kan baru diganti jadi isinya masih
lumayan banyak.” jelas saya. “Ko Abi ga bisa nyium baunya ya” ungkap suami.
“Masa sih? Coba cium ini kayu putih.” Saya menyodorkan kayu putih. “Hmm.. Kalau
ini kecium sih ada menyengat gitu tapi ga jelas kaya biasanya,” jelas suami.
Saya terdiam sejenak kemudian berusaha menepis pikiran negative yang mulai
muncul. “Ah biasanya. Kan Abi radang, mungkin mau flu juga jadi penciuman
terganggu gitu kan. Kan suka mampet gitu hidung,” tepis saya mengakhiri obrolan
malam itu.
Hari Kamis pagi saya mulai merasa
tidak enak badan. Tenggorokan mulai sakit, badan pegal-pegal dan sakit kepala
luar biasa sampai saya tidak kuat bangun dari tempat tidur. Akhirnya saya minum
paracetamol dan istirahat. Ketika itu saya berpikir bahwa saya juga kena
radang tenggorokan dan mau flu seperti suami. Kamis malam
saya mengeluh pada suami karena badan semakin terasa sakit. Badan
sedikit demam dan mulai ada batuk kering ringan. “Bi, besok anter berobat ya.
Ini kayanya mau batuk dan flu. Ga enak banget.” Saya berusaha
menjelaskan kepada suami. “Iya, besok berobat ya. Ijin aja besok ga usah ke
sekolah dulu. Yang penting pembelajaran daring udah diupload kan untuk besok?”
tanya suami. “Iya, Ummi udah ijin,” pungkas saya.
Hari Jumat pagi saya berobat. Sesuai
dengan dugaan saya, menurut dokter saya juga terkena radang tenggorokan dan flu.
Pada saat itu dokter mengingatkan saya untuk meningkatkan imunitas karena
dimasa pandemi seperti ini gejala yang muncul dari covid-19 sudah banyak dan sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya. Jumat malam suami saya mengabari bahwa ia akan pulang telat karena
akan swab test lagi. Mendengar itu, saya kaget. Suami menjelaskan bahwa
ia melakukan swab test lagi atas
saran dari kantor mengingat beberapa karyawan di kantor yang hasil nya negatif
mengalami beberapa gejala mirip covid-19. Saya langsung terigat keluhan suami
yang mulai berkurang penciumannya. Swab test kali ini benar-benar
membuat saya lebih dag dig dug dari biasanya. Jumat malam suami lebih ketat
lagi menjaga jarak dengan saya dan anak-anak. Ia menggunakan masker di rumah
dan makan/ berkegiatan yang membutuhkan membuka masker hanya dilakukan di kamar depan. Mengingat saya pun sedang sakit, maka saya juga mulai
menjaga jarak dengan anak-anak. Malan itu berasa begitu panjang. Saya berdo’a
agar hasil swab test suami besok baik-baik saja. Tapi di sisi lain, saya pun mulai merasa
khawatir mengingat suami mengeluh bahwa indra penciumannya semakin menghilang.
Sabtu 27 Februari 2021. Menjadi hari
paling kelabu bagi kami. Pagi hasil swab test suami keluar dan hasilnya
ia POSITIF covid-19. Luar biasa kaget, seperti mimpi dan saya seketika nge-blank
bingung harus berbuat apa. Suami berusaha menenangkan dan mengingatkan saya
untuk tetap memakai masker dan menjaga jarak dengan anak-anak. Sederet
pertanyaan kritis dari si sulung juga mulai bermunculan. “Ummi dan Abi kenapa
pakai masker? Kan kita di rumah. Ummi kenapa Aza ga boleh makan bareng Ummi?
Ummi dan Abi kenapa kalau makan di kamar depan dan di tutup kamarnya? Kenapa
Aza ga boleh masuk kamar depan? Kenapa
Aza ga boleh minum pake gelas Ummi dan Abi?” Sederet pertanyaan dari si Sulung
coba kami jelaskan dengan kalimat-kalimat yang sederhana yang mudah
dipahaminya. Kami jelaskan pada si Sulung bahwa Ummi dan Abinya sedang sakit.
Saya melakukan pekerjaan domestik sambal berusaha menenangkan diri. Suami
menghubungi pak RT dan perawat yang bisa dilakukan swab test ke rumah
kami. Saya dan anak-anak harus swab test mengingat kami memiliki kontak
erat terlebih saya sedang mengalami gejala batuk ringan dan flu.
Sembari menunggu swab test
saya dan suami mendiskusikan langkah yang akan diambil. Jika suami saya saja
yang positif, maka suami berencana untuk isolasi mandiri di sebuar Rumah Sakit
rujukan dari perusahaannya. Jika saya juga positif sedangkan anak-anak negatif
maka ada dua pilihan. Pertama kami tetap isolasi mandiri di rumah Bersama
anak-anak dengan tetap menerapkan prokes (wajib memakai masker kecuali di kamar
mandi dan di ruang kamar depan). Pilihan kedua adalah menitipkan anak-anak ke
orangtua saya di kampung. Pukul 13.00
perawat datang. Saya dan anak-anak melakukan swab test. Setelah
menunggu, hasilnya pun keluar. Hasilnya
saya positif sedangkan anak-anak negatif.
Kali ini saya tidak sekaget
sebelumnya. Saya sudah punya feeling akan positif hasilnya karena saya
sedang mengalami gejala mirip covid-19 juga memiliki kontak yang erat dengan
suami. Saya dan suami bersyukur dan sedikit merasa lega karena Alhamdulillah
anak-anak hasilnya negatif. Kami pun berkonsultasi langkah apa yang harus kami ambil. Dan petugas Kesehatan menyarankan
agar anak-anak dipisahkan dari rumah dengan di titipkan pada saudara terdekat.
Ahad pagi, abah (ayah saya) dan adik
saya sudah berangkat menuju rumah kami. Abah akan menjemput anak-anak. Sejak
hari Sabtu, saya mulai mengajak ngobrol si Sulung. Membujuk agar ia mau tinggal
sementara bersama kakek neneknya di kampung. “Teteh aza, nanti tinggal dulu
sama abah sama enin dan ateu ya. Ummi dan ab ikan sakit, jadi gab oleh dekat-dekat
dulu sama teteh dan de Asqi. Jadi Ummi dan Abi di sini dulu supaya sembuh dulu
sakitnya. Nanti kalua sudah sembuh, kita kumpul lagi.” Saya mencoba
menjelaskan. “Ga mau. Aza ma uke enin nya sama Ummi sama Abi sama de Asqi. Kenapa
Ummi ga ikut? Aza mau di sini aja sama Ummi,” tolak si Sulung. Sampai hari Ahad
subuh, saya masih berusaha membujuk dengan cara menjelaskan sesuai dengan bahasa
yang mudah dipahaminya. Sampai akhirnya Ahad pagi teteh Aza berhasil dibujuk. Saya
jelaskan bahwa jika ia tetap di sini ikut isoman maka salah satu konsekwensinya
ia tidak boleh keluar rumah apalagi jalan-jalan naik motor seperti biasa.
Adik saya mengabari bahwa sebentar
lagi ia sampai. Barang keperluan anak-anak telah diseprot desinfektan kemudian
kami simpan di teras. Anak-anak pun telah siap. Si Sulung malah sudah tidak
sabar ingin segera pergi. Karena sedari kemarin ia terus mengajak Abi nya naik
motor, ingin jalan-jalan keluar rumah. Perasaaan saya mulai campur aduk. Di
satu sisi saya yakin ini adalah jalan yang terbaik untuk semuanya terutama untuk
kebaikan anak-anak. Tapi di sisi lain saya begitu hancur Ketika harus berjauhan
dengan anak-anak. Selama ini anak-anak tidak pernah berpisah dengan saya. Sambil
menunggu, saya memandangi wajah mereka satu persatu dan air mata pun sudah tak
bisa saya bending lagi. Saya menangis tapi kemudian sekuat tenaga saya hapus
dan tahan kembali agar anak-anak terutama si Sulung tidak melihatnya.
Abah pun sampai di rumah kami. Barang-barang
anak anak yang di teras di ambil. Si Sulung langsung lari keluar rumah memeluk
tantenya. Saya berikan Asqi yang masih saya gendong kepada suami saya. Kemudian
suami saya berikan Asqi kepada adik saya. Saya hanya melihat di balik jendela
rumah. Air mata mengalir tidak tertahan lagi. Asqi pun ikut menangis. Ia
menangis sembari melihat wajah tantenya. Tidak menunggu lama, anak-anakpun
akhirnya berangkat. Pergi ke kampung bersama Abah dan tantenya. Setelah
anak-anak menghilang dari pandangan saya. Saya masuk kamar dan tangis saya pun
pecah. Entah sudah berapa tisu yang saya pakai untuk menghapus air mata. Suami
datang menghampiri saya dan berusaha menenangkan saya. “Udah nangisnya. Ini
yang terbaik, terutama untuk anak-anak. Kita di sini fokus untuk sehat, Ummi harus
tenang jangan sedih terus supaya anak-anak di sana juga anteng,” ungkap suami.
Sembari sesegukan saya berusaha menarik nafas berusaha menghentikan tangis sambil
mengiyakan apa yang dikatakan suami.
Ahad malam berlalu begitu panjang
bagi saya. Adik saya dan enin (mamah saya) mengirim pesan singkat : Teteh sama
aa di sana yang tenang fokus sama kesembuhan. Teteh jangan kepikiran terus
anak-anak supaya anak-anak di sini anteng sehat dan baik-baik saja. Setelah
shalat berjamaah Isya, saya video call anak-anak. Si Sulung Alhamdulillah
anteng dan ceria. Saya tidak menyangka bahwa ia akan sekuat itu. Si kecil
memang cukup rewel. Ia sulit tidur. Ia mencari saya karena ia masih ASI dan
terbiasa menyusu secara langsung ketika mau tidur. Saya pun sama dengan si
kecil, sulit tidur. Perasaan masih tidak karuan ditambah kondisi fisik yang
semakin lemah. Selain gejala batuk dan sakit persendian, indra penciuman saya
pun mulai menghilang. Badan dan nafas terasa lebih mudah lelah/capek. Stok ASIP di kulkas dibawa semua ke kampung.
Alhamdulillah aman untuk seminggu kedepan. Walaupun demikian, selama
isoman saya tetap sambil pompa ASIP agar ASI saya tidak berhenti.
Keesokan harinya, Alhamdulillah mendapat
kabar si kecil pun sudah mulai anteng dan tidak rewel. Hari demi hari kami
lalui dengan saling menguatkan. Suami selalu hadir menenangkan saya. Saya tahu
ini bukan hal mudah. Tapi saya pun yakin di balik setiap ujian pasti ada hikmah
yang tidak pernah kita duga. Allah tidak akan menguji diluar kemampuan
hambanya. Dan tidak terasa, ini adalah hari ke-14 kami isolasi mandiri. Kami
baru saja selesai melakukan swab test dan menunggu hasilnya dua hari
kemudian. Bagi saya ini pengalaman luar biasa. Empat belas hari yang
mengajarkan banyak hal. Allah memberikan kami couple time. 14 hari
berdua saja bersama suami. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari bicara kisah
masa lalu, bercanda receh untuk saling menghibur, membicarakan masa depan, saling
perang komentar mengenai acara TV dan
yang paling penting adalah kami berdua menjadi semakin kokoh dengan ujian ini. 14
hari ini pun menempa anak-anak menjadi kuat. Allah maha baik dan dalam kondisi
apapun kami sadar bahwa kami harus senantiasa bersyukur. Bersyukur Allah memberikan
kami Keluarga, Sahabat, Teman dan Tetangga yang luar biasa baik. Semuanya
memberikan do’a support bagi kami.
Ujian ini pahit seperti obat. Tapi insyaAllah membawa kebaikan dan akan
mengobati ‘penyakit’ pada diri kami.
Secara fisik mungkin kami termasuk orang
yang terinfeksi dengan gejala ringan. Tapi serangan secara psikis dari covid-19
ini luar biasa saya rasakan. Bagaimana tertatih-tatihnya saya membangun pikiran
positif untuk meningkatkan imun tubuh. Bagaimana susah payahnya saya melawan
virus ini sembari menahan rindu yang begitu dalam. Bagi teman-teman yang masih
meragukan virus ini ada atau tidak, pesan kami tetaplah jaga protokol kesehatan
sebagai ikhtiar kita dalam menjaga diri juga orang lain. Jangan sampai
kelalaian atau keegoisan menjadika kita sebagai penyebab penderitaan
orang-orang. Bagi teman-teman yang sudah menyempurnakan ikhtiar tapi takdirNya
tidak sesuai harapan kita, maka percayalah bahwa takdirNya adalah yang terbaik
bagi hambaNya. Tugas kita sebatas berikhtiar dan berdo’a, sisanya adalah
bertawakal menyerahkan segalanya pada Yang Maha Mengetahui.
11 Maret 2021
14.00