Azalea Madinaramadhani Prayana |
Salahsatu
momen spesial dalam hidup saya adalah momen ketika saya dilahirkan kembali
untuk menjadi seorang ibu. Sejak masuk bulan ke sembilan saya sudah pulang ke
rumah orangtua karena memang berecana melahirkan di sana. Memasuki usia
kehamilan 36 minggu pemeriksaan pun semakin rutin dilakukan. Alhamdulillah dari
hasil pemeriksaan tidak ada masalah. Posisi bayi sudah bagus. Kepada sudah di bawah
bahkan sudah masuk ke rongga panggul. Perasaan saat itu campur aduk. Bahagia, excited, dan terharu. Bahagia luar biasa
membayangkan bisa melihat wajah makhluk kecil yang sudah membuat saya jatuh
cinta sejak awal dia ada di rahim saya.
HPL
saya adalah 21 Juni 2017. Saat itu adalah bulan ramadhan dan HPL saya bertepatan
dengan pekan terakhir di bulan ramadhan. 20 Juni ketika sahur saya mulai
merasakan mules. Seperti mau buang air besar, tapi bukan. Mungkin ini adalah
hari pertemuan kita nak, bisik saya dalam hati. Semakin lama, mules itu semakin
terasa lebih sering. Tapi orangtua saya menyarankan tidak usah ke bidan
terlebih dahulu Karen ini masih fase awal. Jam 6 pagi saya masih jalan-jalan di
depan halaman rumah. Setelah mandi dan sarapan (saya memutuskan untuk tidak
shaum pada hari itu), rasa mules itu tiba-tiba hilang. Saya tunggu hingga
beberapa jam kemudian, tapi tetap tidak ada mules lagi. Kata mamah mungkin itu
masih kontraksi palsu.
Sekitar
pukul 02.00 dini hari tanggal 21 Juni 2017 mules itu kembali terasa. Hari ini
bertepatan dengan HPL nya. Mules kali ini dirasa lebih hebat dan kuat. Hingga pukul
03.30 ketika keluarga masih bersantap sahur, saya sudah merasa perlu untuk
pergi ke bidan. Pada saat itu bokong terasa panas disertai mules yang semakin
sering datangnya. Selesai santap sahur, saya suami dan ayah saya langsung pergi
ke bidan. Sesampainya di sana saya di cek pembukaan oleh ibu bidan. Luar biasa,
pertama kali saya merasakan cek pembukaan itu ternyataa… (susah diungkapkan
dengan kata-kata). Ibu bidan bilang ini sudah pembukaan satu. Bidan menyarankan
untuk pulang dulu saja. nanti pagi bisa langsung ke puskesmas karena bidan yang
saya pilih adalah kepala puskesmas. Jadi dia lebih sering berada di sana daripada
di rumahnya. Termasuk pada hari itu, memang pagi hari adalah jadwal beliau di
puskesmas.
Setelah
sholat subuh. Saya dan keluarga langsung pergi ke puskesmas. Di puskesmas
dilakukan serangkaian pemeriksaan. Pemeriksaan pembukaan, pemeriksaan urin, dan
tensi darah. Ketika cek pembukaan, bidan yang mengecek saya ekspresi wajahnya
terlihat sedikit kaget. Kemudian dia meminta temannya yang sesame bidan untuk
mengecek ulang. Mereka berdua terlihat mengobrol kemudian salahsatu bidan
menanyakan kepada saya apakah pernah merasa air ketubannya keluar (rembes). Soalnya
menurut mereka air ketuban saya sudah sedikit lagi. Kemungkinan sudah rembes
(bukan pecah). Saya cukup kaget karena saya tidah merasakan ada cairan yang
keluar atau rembes. Tapi bidan itu berusaha menenangkan saya dan akan mengecek
ulang.
Jam
07.00 saya masih di puskesmas. Kontraksi semakin kuat dan sering dirasakan. Seorang
bidan memanggil saya dan suami. Ternyata dari hasil cek urine, diketahui bahwa
kandungan protein saya cukup tinggi (melebihi batas normal). Mereka meminta
saya untuk mengambil lagi urine untuk di cek kedua kalinya. Karena bisa ada
kemungkinan salah alatnya. Hingga tes urine ke tiga, hasilnya masih tetap sama.
alat tes yang digunakan saat itu adalah seperti kertas lakmus. Untuk kesekian
kalinya bidan menanyakan apakah saya punya riwayat darah tinggi, apakah kaki
saya bengkak yang tidak wajar dll. Dan jawabannya adalah tidak. Setiap kali
kontrol kehamilan, tensi darah saya tidak pernah tinggi. Malah lebih sering
rendah ketika trimester pertama. Dan kaki saya punti dak bengkak sama sekali. Mendengar
jawaban saya, beberapa bidan yang bertugas terlihan heran. Saya mulai merasa
khawatir. Saya tahu konsekuensi dari kandungan protein yang melebihi batas
normal adalah bisa kemungkinan terjadinya bayinya keracunan. Dan benarlah,
ketika menjelaskan hasil tes urine ketiga, bidan menjelaskan kemungkinan itu. Maka
atas dasar keselamatan, semua bidan di sana menyarankan saya untuk di rujuk ke
rumah sakit dengan pertimbangan karena di rumah sakit fasilitasnya lebih
lengkap terutama ada ruang NICU untuk bayi. Jadi kalau ada apa-apa dengan
bayinya, bisa ditangani lebih cepat.
Setelah
berdiskusi dengan keluarga. Akhirnya kami memilih satu-satunya RSIA yang ada di
sukabumi saat itu. Pertimbangan kami adalah karena RSIA memang RS yang dikhususkan
untuk menangani masalah itu sehingga berharap fasilitas dan SDM nya pun lebih
lengkap dan paham disbanding RSU. Di perjalanan menuju rumah sakit, kontraksi justru
semakin kuat lagi. Suami dan mama terus menyuruh saya untuk membaca doa. Segala
doa dan dzikir saya baca. Saat itu yang saya minta kepada Allah adalah ;”Ya
Robbi selamatkan anak saya, kuatkan kami berdua hingga kami berdua bisa sampai
pada pertemuan yang dinanti selama ini.”
Sesampainya
di rumah sakit, melihat saya yang sudah kepayahan petugas security langsung memberikan
kursi roda dan mengarahkan saya untuk ke bagian ruang bersalin. Saya langsung
masuk ruang bersalin sedangkan suami masih mengurus beberapa administrasi. Pada
saat itu yang ikut ke RS adalah suami, orangtua saya, nenek saya dan adik saya.
Karena di ruang bersalain hanya boleh ditunggu oleh satu orang, akhirnya
keluarga hanya suami saya yang ada di ruangan sementara keluarga menunggu di
luar. Saya pun melaksanakan serangkaian tes urine dan darah. Dan saat itu sudah
masuk ke pembukaan 3. Saya jalan-jalan dengan suami di depan ruangan bersalin
dengan sesekali berhenti dan saya genggam erat tangan suami saya untuk menahan
sakitnya kontraksi yang di rasa. Hasil tes lab pun keluar. Alhamdulillah
hasilnya baik semua termasuk kandungan protein saya ternyata masih normal dan
air ketuban pun masih mencukupi (normal). Luar biasa bersyukurnya saya.
Keluarga
pun memutuskan untuk pulang dulu ke rumah dan tinggallah saya dan suami saya di
RS. Datang lah dokternya ke ruangan saya. Semua di cek termasuk pembukaan dan
kontraksinya. Sudah masuk ke bukaan 4 ternyata. Berdasarkan alat cek kontraksi,
munurut dokter kontraksinya sudah bagus dan kuat. Kalau kontraksinya terus
seperti ini, insyaAllah maghrib atau isya sudah bisa lahiran. Dokter pun
memerintahkan petugas untuk menyiapkan semua lata2 untuk proses lahiran normal.
Melihat saya yang sesekali memegang kuat tangan suami saya untuk menahan sakit.
Dokternya tersenyum dan berucap :” luar biasa kuat ibu ya, biasanya rata-rata
kalau udah masuk ke kontraksi sekuat ini ibu2 sudah teriak2 ada yang sampai
jambak2 rambut suaminya.” Saya hanya membalas pujian dokter itu dengan senyum
tipis dan bisikan dalam hati :”aamiin”.
Kontraksi
dan detak jantung bayi terus dimonitor oleh petugas bidan yang bolak-balik ke
ruangan saya. Hingga sampailah pada waktu berbuka puasa. Setelah maghrib
dookter datang kembali untuk mengevaluasi. Cek pembukaan ternyata masih bukaan
4. Saya heran, karena sakit yang rasakan semakin bertambah sering dan kuat tapi
bukaan belum bertambah lagi. Dokternya memasang wajah herannya karena menurut
dia kontraksinya sudah sangat kuat dan sering tapi kenapa bukaan masih 4.
Sambil
menunggu ke pemeriksaan bukaan berikutnya saya dan suami terus jalan-jalan di
dalam ruangan bersalin. Sambil memegang tangan saya, suami memberi semangat
berbisik “insyaAllah bisa.” Sampai pada pengecekan berikutnya Alhamdulillah sudah
masuh bukaan ke lima. Tapi dari hasil usg, dokter menyatakan bahwa dede bayinya
sudah kekurangan asupan oksigen karena kontraksi yang saya alami sudah sangat
kuat dan sering. Sampai beberpa
pengecekan bukaan. Qodarullah, bukaannya tidah nambah-nambah. Hanya di bukaan
lima tapi dengan kontraksi yang semakin kuat dan semakin sering.
Hingga
di pemeriksaan terakhir, melihat kondisi bayi yang semakin lemah dokter pun
memberikan pilihan kepada kami untuk dilakukan SC. Beliau memberikan pilihan alternative
lain yaitu dengan induksi. Akan tetapi karena kondisi bayi yang melemah, maka
dokter bilang bahwa induksi akan lebih beresiko untuk keduanya terutama bayi. Jika
kondisi bayi nya masih normal, beliau bilang tidak apa-apa dengan induksi. Tapi
ini adalah pertimbangannya kondisi bayi. Mendengarkan penjelasan dokter saya
luar biasa kaget. Tidak pernah terbayang sedikitpun bahwa saya akan melakuka
SC. Di tengan kondisi yang baik-baik saja semenjak awal kenapa di beberapa
langkah terakhir justru saya diberikan kejutan seperti ini.
Dari
dulu jangankan dengan namanya operasi besar atau kecil. Dengan jarum suntik
saja saya takut luar biasa. Dengan perasaan yang luar biasa campur aduk saya
terus bertanya dan berdiskusi dengan dokter dan suami terkait semuanya. Setelah
dijelaskan semua resiko dll terkait SC, kami pun diberi waktu oleh dokter untuk
berbicara dengan keluarga. Akhirnya saya menelpon orangtua. Menceritakan semuanya
sembari tidak kuat menahan tangis. Di ujung saya terdengar suara sendu yang
terus memberikan saya semangat. Suara mamah dan abah yang begitu menambah
ketenangan dan kekuatan untuk saya. Intinya mereka menguatkan saya bahwa tidak
apa-apa jika memang jalannya harus SC maka itu berarti adalah takdir dari Allah
yang terbaik. Seusai menelpon suami yang sedari tadi selalu memegang erat
tangan ini menanyakan “gimana?” saya pun mengangguk. Semua rasa takut saya akan
operasi hilang seketika membayangkan wajah si makhluk kecil yang begitu saya
cintai ini. Yang terpenting bagi saya adalah keselamatannya. Akhirnya suami pun
pergi untuk mengurus beberapa administrasi dan menandatangani surat
persetujuan.
Saya
pun masuk ruang operasi. Suami hanya bisa mengantarkan sampai pintu ruang
operasi karena SC tidak boleh ada keluarga yang menemani. (terkecuali artis2 itu ya, yg bisa, hehe). Suami selalu memegang
erat tangan saya dan memberi saya kekuatan hingga akhirnya di pintu ruang
operasi, genggaman itu harus saya lepaskan. Di ruang operasi dokter
mengingatkan saya untuk berdoa. Kemudian petugas anastesi menyuntikan bius di
tulang punggung. Dan itu luar biasa rasanya. Disuntik biasa saja saya takut. Dan
saat itu saya merasakan disuntik di punggung yang berkali lipat sakitnya dari
disuntuk biasa. Sambil mengajak ngobrol, akhirnya obat bius pun bereaksi. Saa sudah
tidak bisa mengangkan jari kaki saya sedikit pun. Dari perut sam ujung kaki
semua mati rasa. Operasi pun dimulai. Saya tidak merasakan apa-apa. dan
Akhirnya tangisan itu pun terdengan. Tangisan yang sudah sangat saya rindukan. Seorang
dokter anak kemudian membawa makhluk kecil itu ke hadapan saya sambil berucap :”selamat
ya bu, anaknya perempuan. Alhamdulillah sehat, lengkap semuanya.”. Ditempelkannya
dia di dada saya. Seketika itu tangis nya berhenti dan saya tatap wajahnya
dengan air mata kebahagiaan yang tidak tertahan lagi. Syukur luar biasa. Bahagia
luar biasa. Ya Rabbi akhirnya Engkau sampaikan kami berdua di pertemuan yang
sudah lama dinanti ini. Perjalanan luar biasa hingga akhirnya azalea bisa menatap
dunia untuk pertama kalinya.
11.00 pm
15122018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar