Jumat, 14 Desember 2018

Perjalanan Azalea Menatap Dunia

Azalea Madinaramadhani Prayana


Salahsatu momen spesial dalam hidup saya adalah momen ketika saya dilahirkan kembali untuk menjadi seorang ibu. Sejak masuk bulan ke sembilan saya sudah pulang ke rumah orangtua karena memang berecana melahirkan di sana. Memasuki usia kehamilan 36 minggu pemeriksaan pun semakin rutin dilakukan. Alhamdulillah dari hasil pemeriksaan tidak ada masalah. Posisi bayi sudah bagus. Kepada sudah di bawah bahkan sudah masuk ke rongga panggul. Perasaan saat itu campur aduk. Bahagia, excited, dan terharu. Bahagia luar biasa membayangkan bisa melihat wajah makhluk kecil yang sudah membuat saya jatuh cinta sejak awal dia ada di rahim saya.

HPL saya adalah 21 Juni 2017. Saat itu adalah bulan ramadhan dan HPL saya bertepatan dengan pekan terakhir di bulan ramadhan. 20 Juni ketika sahur saya mulai merasakan mules. Seperti mau buang air besar, tapi bukan. Mungkin ini adalah hari pertemuan kita nak, bisik saya dalam hati. Semakin lama, mules itu semakin terasa lebih sering. Tapi orangtua saya menyarankan tidak usah ke bidan terlebih dahulu Karen ini masih fase awal. Jam 6 pagi saya masih jalan-jalan di depan halaman rumah. Setelah mandi dan sarapan (saya memutuskan untuk tidak shaum pada hari itu), rasa mules itu tiba-tiba hilang. Saya tunggu hingga beberapa jam kemudian, tapi tetap tidak ada mules lagi. Kata mamah mungkin itu masih kontraksi palsu.

Sekitar pukul 02.00 dini hari tanggal 21 Juni 2017 mules itu kembali terasa. Hari ini bertepatan dengan HPL nya. Mules kali ini dirasa lebih hebat dan kuat. Hingga pukul 03.30 ketika keluarga masih bersantap sahur, saya sudah merasa perlu untuk pergi ke bidan. Pada saat itu bokong terasa panas disertai mules yang semakin sering datangnya. Selesai santap sahur, saya suami dan ayah saya langsung pergi ke bidan. Sesampainya di sana saya di cek pembukaan oleh ibu bidan. Luar biasa, pertama kali saya merasakan cek pembukaan itu ternyataa… (susah diungkapkan dengan kata-kata). Ibu bidan bilang ini sudah pembukaan satu. Bidan menyarankan untuk pulang dulu saja. nanti pagi bisa langsung ke puskesmas karena bidan yang saya pilih adalah kepala puskesmas. Jadi dia lebih sering berada di sana daripada di rumahnya. Termasuk pada hari itu, memang pagi hari adalah jadwal beliau di puskesmas.

Setelah sholat subuh. Saya dan keluarga langsung pergi ke puskesmas. Di puskesmas dilakukan serangkaian pemeriksaan. Pemeriksaan pembukaan, pemeriksaan urin, dan tensi darah. Ketika cek pembukaan, bidan yang mengecek saya ekspresi wajahnya terlihat sedikit kaget. Kemudian dia meminta temannya yang sesame bidan untuk mengecek ulang. Mereka berdua terlihat mengobrol kemudian salahsatu bidan menanyakan kepada saya apakah pernah merasa air ketubannya keluar (rembes). Soalnya menurut mereka air ketuban saya sudah sedikit lagi. Kemungkinan sudah rembes (bukan pecah). Saya cukup kaget karena saya tidah merasakan ada cairan yang keluar atau rembes. Tapi bidan itu berusaha menenangkan saya dan akan mengecek ulang.

Jam 07.00 saya masih di puskesmas. Kontraksi semakin kuat dan sering dirasakan. Seorang bidan memanggil saya dan suami. Ternyata dari hasil cek urine, diketahui bahwa kandungan protein saya cukup tinggi (melebihi batas normal). Mereka meminta saya untuk mengambil lagi urine untuk di cek kedua kalinya. Karena bisa ada kemungkinan salah alatnya. Hingga tes urine ke tiga, hasilnya masih tetap sama. alat tes yang digunakan saat itu adalah seperti kertas lakmus. Untuk kesekian kalinya bidan menanyakan apakah saya punya riwayat darah tinggi, apakah kaki saya bengkak yang tidak wajar dll. Dan jawabannya adalah tidak. Setiap kali kontrol kehamilan, tensi darah saya tidak pernah tinggi. Malah lebih sering rendah ketika trimester pertama. Dan kaki saya punti dak bengkak sama sekali. Mendengar jawaban saya, beberapa bidan yang bertugas terlihan heran. Saya mulai merasa khawatir. Saya tahu konsekuensi dari kandungan protein yang melebihi batas normal adalah bisa kemungkinan terjadinya bayinya keracunan. Dan benarlah, ketika menjelaskan hasil tes urine ketiga, bidan menjelaskan kemungkinan itu. Maka atas dasar keselamatan, semua bidan di sana menyarankan saya untuk di rujuk ke rumah sakit dengan pertimbangan karena di rumah sakit fasilitasnya lebih lengkap terutama ada ruang NICU untuk bayi. Jadi kalau ada apa-apa dengan bayinya, bisa ditangani lebih cepat.

Setelah berdiskusi dengan keluarga. Akhirnya kami memilih satu-satunya RSIA yang ada di sukabumi saat itu. Pertimbangan kami adalah karena RSIA memang RS yang dikhususkan untuk menangani masalah itu sehingga berharap fasilitas dan SDM nya pun lebih lengkap dan paham disbanding RSU. Di perjalanan menuju rumah sakit, kontraksi justru semakin kuat lagi. Suami dan mama terus menyuruh saya untuk membaca doa. Segala doa dan dzikir saya baca. Saat itu yang saya minta kepada Allah adalah ;”Ya Robbi selamatkan anak saya, kuatkan kami berdua hingga kami berdua bisa sampai pada pertemuan yang dinanti selama ini.”

Sesampainya di rumah sakit, melihat saya yang sudah kepayahan petugas security langsung memberikan kursi roda dan mengarahkan saya untuk ke bagian ruang bersalin. Saya langsung masuk ruang bersalin sedangkan suami masih mengurus beberapa administrasi. Pada saat itu yang ikut ke RS adalah suami, orangtua saya, nenek saya dan adik saya. Karena di ruang bersalain hanya boleh ditunggu oleh satu orang, akhirnya keluarga hanya suami saya yang ada di ruangan sementara keluarga menunggu di luar. Saya pun melaksanakan serangkaian tes urine dan darah. Dan saat itu sudah masuk ke pembukaan 3. Saya jalan-jalan dengan suami di depan ruangan bersalin dengan sesekali berhenti dan saya genggam erat tangan suami saya untuk menahan sakitnya kontraksi yang di rasa. Hasil tes lab pun keluar. Alhamdulillah hasilnya baik semua termasuk kandungan protein saya ternyata masih normal dan air ketuban pun masih mencukupi (normal). Luar biasa bersyukurnya saya.

Keluarga pun memutuskan untuk pulang dulu ke rumah dan tinggallah saya dan suami saya di RS. Datang lah dokternya ke ruangan saya. Semua di cek termasuk pembukaan dan kontraksinya. Sudah masuk ke bukaan 4 ternyata. Berdasarkan alat cek kontraksi, munurut dokter kontraksinya sudah bagus dan kuat. Kalau kontraksinya terus seperti ini, insyaAllah maghrib atau isya sudah bisa lahiran. Dokter pun memerintahkan petugas untuk menyiapkan semua lata2 untuk proses lahiran normal. Melihat saya yang sesekali memegang kuat tangan suami saya untuk menahan sakit. Dokternya tersenyum dan berucap :” luar biasa kuat ibu ya, biasanya rata-rata kalau udah masuk ke kontraksi sekuat ini ibu2 sudah teriak2 ada yang sampai jambak2 rambut suaminya.” Saya hanya membalas pujian dokter itu dengan senyum tipis dan bisikan dalam hati :”aamiin”.

Kontraksi dan detak jantung bayi terus dimonitor oleh petugas bidan yang bolak-balik ke ruangan saya. Hingga sampailah pada waktu berbuka puasa. Setelah maghrib dookter datang kembali untuk mengevaluasi. Cek pembukaan ternyata masih bukaan 4. Saya heran, karena sakit yang rasakan semakin bertambah sering dan kuat tapi bukaan belum bertambah lagi. Dokternya memasang wajah herannya karena menurut dia kontraksinya sudah sangat kuat dan sering tapi kenapa bukaan masih 4.

Sambil menunggu ke pemeriksaan bukaan berikutnya saya dan suami terus jalan-jalan di dalam ruangan bersalin. Sambil memegang tangan saya, suami memberi semangat berbisik “insyaAllah bisa.” Sampai pada pengecekan berikutnya Alhamdulillah sudah masuh bukaan ke lima. Tapi dari hasil usg, dokter menyatakan bahwa dede bayinya sudah kekurangan asupan oksigen karena kontraksi yang saya alami sudah sangat kuat dan sering.  Sampai beberpa pengecekan bukaan. Qodarullah, bukaannya tidah nambah-nambah. Hanya di bukaan lima tapi dengan kontraksi yang semakin kuat dan semakin sering.

Hingga di pemeriksaan terakhir, melihat kondisi bayi yang semakin lemah dokter pun memberikan pilihan kepada kami untuk dilakukan SC. Beliau memberikan pilihan alternative lain yaitu dengan induksi. Akan tetapi karena kondisi bayi yang melemah, maka dokter bilang bahwa induksi akan lebih beresiko untuk keduanya terutama bayi. Jika kondisi bayi nya masih normal, beliau bilang tidak apa-apa dengan induksi. Tapi ini adalah pertimbangannya kondisi bayi. Mendengarkan penjelasan dokter saya luar biasa kaget. Tidak pernah terbayang sedikitpun bahwa saya akan melakuka SC. Di tengan kondisi yang baik-baik saja semenjak awal kenapa di beberapa langkah terakhir justru saya diberikan kejutan seperti ini.

Dari dulu jangankan dengan namanya operasi besar atau kecil. Dengan jarum suntik saja saya takut luar biasa. Dengan perasaan yang luar biasa campur aduk saya terus bertanya dan berdiskusi dengan dokter dan suami terkait semuanya. Setelah dijelaskan semua resiko dll terkait SC, kami pun diberi waktu oleh dokter untuk berbicara dengan keluarga. Akhirnya saya menelpon orangtua. Menceritakan semuanya sembari tidak kuat menahan tangis. Di ujung saya terdengar suara sendu yang terus memberikan saya semangat. Suara mamah dan abah yang begitu menambah ketenangan dan kekuatan untuk saya. Intinya mereka menguatkan saya bahwa tidak apa-apa jika memang jalannya harus SC maka itu berarti adalah takdir dari Allah yang terbaik. Seusai menelpon suami yang sedari tadi selalu memegang erat tangan ini menanyakan “gimana?” saya pun mengangguk. Semua rasa takut saya akan operasi hilang seketika membayangkan wajah si makhluk kecil yang begitu saya cintai ini. Yang terpenting bagi saya adalah keselamatannya. Akhirnya suami pun pergi untuk mengurus beberapa administrasi dan menandatangani surat persetujuan.

Saya pun masuk ruang operasi. Suami hanya bisa mengantarkan sampai pintu ruang operasi karena SC tidak boleh ada keluarga yang menemani. (terkecuali artis2 itu ya, yg bisa, hehe). Suami selalu memegang erat tangan saya dan memberi saya kekuatan hingga akhirnya di pintu ruang operasi, genggaman itu harus saya lepaskan. Di ruang operasi dokter mengingatkan saya untuk berdoa. Kemudian petugas anastesi menyuntikan bius di tulang punggung. Dan itu luar biasa rasanya. Disuntik biasa saja saya takut. Dan saat itu saya merasakan disuntik di punggung yang berkali lipat sakitnya dari disuntuk biasa. Sambil mengajak ngobrol, akhirnya obat bius pun bereaksi. Saa sudah tidak bisa mengangkan jari kaki saya sedikit pun. Dari perut sam ujung kaki semua mati rasa. Operasi pun dimulai. Saya tidak merasakan apa-apa. dan Akhirnya tangisan itu pun terdengan. Tangisan yang sudah sangat saya rindukan. Seorang dokter anak kemudian membawa makhluk kecil itu ke hadapan saya sambil berucap :”selamat ya bu, anaknya perempuan. Alhamdulillah sehat, lengkap semuanya.”. Ditempelkannya dia di dada saya. Seketika itu tangis nya berhenti dan saya tatap wajahnya dengan air mata kebahagiaan yang tidak tertahan lagi. Syukur luar biasa. Bahagia luar biasa. Ya Rabbi akhirnya Engkau sampaikan kami berdua di pertemuan yang sudah lama dinanti ini. Perjalanan luar biasa hingga akhirnya azalea bisa menatap dunia untuk pertama kalinya.
11.00 pm
15122018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar